Sunday 13 November 2011

Pengertian Wujud


Yang pertama dari sifat-sifat yang wajib bagi Allah SWT adalah wujud. Dan diperselihkan perihal maknanya.
  1. Pengertian Wujud menurut selain Asy’ari
Maka berkatalah selain Imam Asy’ari (yakni Imam Arrozi) dan para pengikutnya: wujud itu adalah hal yang wajib bagi dzat selama tetap dzat itu dan hal ini tidak disebabkan dengan satu sebab.
Dan makna dari keadaan wujud itu sebagai hal adalah bahwa wujud itu tidak naik ke derajat maujud (yang diadakan) sehingga dia dapat disaksikan dan tidak menurun ke derajat ma’dum (ditiadakan) sehingga dia tidak ada sama sekali, melainkan dia ada ditengah-tengah antara maujud dan ma’dum.
Perlu diketahui bahwa segala sesuatu itu ada 4 bagian:
1. Maujud : yaitu sesuatu yang syah melihatnya dan dia adalah yang paling tinggi derajatnya.
2. Ma'dum : yaitu sesuatu yang tidak ada ketetapan baginya dan dia adalah yang paling rendah derajatnya.
3. Hal : yaitu sesuatu yang ada ditengah-tengah antara maujud dan ma’dum dan dia lebih rendah derajatnya daripada maujud dan lebih tinggi daripada ma’dum dan juga amrun I’tibari.
4. I'tibar : yaitu perkara yang berdasarkan pandangan.

Amrun I’tibari ada dua macam: Ikhtiro’I dan Intiza’I
  • Ikhtiro’I adalah sesuatu yang tidak mempunyai kepastian pada dirinya melainkan dia itu dikira-kirakan oleh orang dan diada-adakan, seperti bakhilnya orang yang mulia dan mulianya orang yang bakhil.
  • Intiza’I adalah sesuatu yang mempunyai kepastian pada dirinya, seperti mulianya orang yang mulia dan bakhilnya orang yang bakhil.

Maka wujud si Zaed umpamanya adalah suatu hal yang wajib bagi dzatnya dalam arti tidak terlepas Hal itu dari dzat tersebut. Dan makna perkataan mereka dengan “tidak disebabkan dengan satu sebab” adalah bahwa Hal itu tidak timbul dari sesuatu (selain dzat). Berbeda dengan keadaan si Zaed berkuasa umpamanya, maka sesungguhnya keadaan seperti itu adalah timbul dari kekuasaannya.
Maka keadaan si Zaed itu berkuasa umpamanya dan wujudnya adalah dua hal yang berdiri dengan dzatnya yang tidak dapat dicapai keduanya itu dengan salah satu daripada indera yang lima. Akan tetapi yang pertama mempunyai sebab yang dia timbul daripadanya dan sebab itu adalah qudrot (kekuasaan) sedangkan yang kedua tidak mempunyai sebab.
Dan inilah dhobit (kaidah) bagi HAL NAFSIYYAH. Dan setiap hal yang berdiri dengan dzat dalam keadaan tidak disebabkan dengan satu sebab dinamakan dengan Sifat Nafsiyyah. Dan dia (Sifat Nafsiyyah) adalah sesuatu yang dzat tidak bisa difahami dengan tanpa dia, artinya tidak ditashowwur akan dzat itu yakni tidak dapatkan dia kecuali dengan sifatnya yang nafsiyyah seperti tahayyuz (mengambil tempat) bagi jirim. Maka sesungguhnya jika engkau telah mentashowwurnya yakni engkau telah mendapatkannya (jirim tersebut) niscaya engkau dapatkan bahwa dia itu memang mengambil tempat.
Jadi dapat diketahui melalui ibarat ini bahwa dhobit daripada HAL NAFSIYYAH ada dua, yakni:

  1. Setiap Hal yang berdiri dengan dzat dalam keadaan tidak disebabkan dengan satu sebab
  2. Sesuatu dzat tidak bisa difahami dengan tanpa dia.

Sebab dinamakan wujud itu dengan hal nafsiyyah (mengenai diri) adalah karena Hal tersebut hanya melazimi diri yakni dzat. Berbeda dengan HAL MAKNAWIYYAH karena dia disamping melazimi dzat juga melazimi beberapa makna.
Dan berdasarkan pendapat ini yakni keadaan wujud itu sebagai Hal maka dzat Allah SWT adalah selain wujud-Nya dan dzat segala yang baru adalah selain wujud-wujudnya.

  1. Pengertian Wujud menurut Asy’ari
Dan berkata Imam Asy’ari dan para pengikutnya: wujud adalah maujud itu sendiri, maka berdasarkan pendapat ini wujud Allah SWT adalah dzat-Nya sendiri, tidak lebih atasnya diluar dan wujud yang baru itu adalah dzatnya sendiri.












Catatan Kehidupan


Kita hanyalah manusia yang lemah nan hina, kita diciptakan di dunia ini bukanlah untuk bersenang-senang tetapi untuk berjuang di jalan Allah agar kehidupan kita selalu bermanfaat.

Jangan membanggakan diri sendiri karena semua yang ada di alam ini adalah Fana' hanya Allah 'azza wa jalla yang bersifat kekal.

Belajarlah mentauhidkan Allah, jalan pertama yaitu dengan mengenal hakikat diri kita sendiri karena dengan mengenal diri, kita akan mengetahui antara posisi kita dan Tuhan yang menciptakan alam semesta.

kemudian kenalilah alam ini kemudian belajar mengenal akhirat,.. Pelajarilah ilmu-ilmu Allah. dan yang perlu kita perhatikan pada zaman sekarang ini adalah tentang aqidah, yang sekarang merajalela dan banyak aqidah-aqidah yang menyimpang dari ajaran ahlussunah wal jama'ah, marilah kita sedikit mengkaji tentang Aqidah ahlussunah wal jama'ah, dimana aqidah Ahlussunah Wal Jama'ah mengambil faham Tauhid berlandaskan Faham Asy'ariah Wal Mathutidiyah yang sekarang lebih dikenal dengan Aqoidul Khomsin (Aqidah 50),

Dalam bidang Fiqih mengikuti salah satu imam dari empat Madzhab (Madzhab Maliki, Madzhab Hambali, Madzhab Syafi'i, Madzhab Hanafi) dan dalam bidang Tasawwuf mengikuti sang Hujjatul Islam Imam Al-ghazali dan imam Junaid Al-Baghdadi. 

Dalam Kitab Kifayat Al-'Awam dikatakan :

ﻓﻼ ﻴﺼﺢ ﺍﻟﺤﻛﻢ ﺒﻭﺿﻭﺀ ﺸﺨﺺ ﺍﻮ ﺼﻼﺗﻪ ﺇﻻ ﺇﺫﺍ ﻜﺎﻦ ﻋﺎﻟﻣﺎ ﺒﻬﺬﻩ ﺍﻠﻌﻘﺎﺌﺪ ﺍﻮﺟﺎﺰﻣﺎ ﺒﻬﺎ ﻋﻟﻰ ﺍﻠﺧﻼﻒ ﻔﻰ ﺬﻠﻚ
“Maka hukum itu tidak mensyahkan wudlunya seseorang atau shalatnya kecuali jika dia mengetahui dengan aqidah-aqidah ini (aqidah 50) atau dia mantap dengannya berdasarkan perbedaan pada yang demikian itu.”

Dalam hal ilmu tentang aqidah-aqidah ini sebagai dasar yang baru bisa terbina atasnya barang yang selainnya, maka hukum tidak bisa mensyahkan wudlu atau shalatnya seseorang kecuali jika dia mengetahui aqidah-aqidah tersebut berdasarkan pendapat yang mengatakan bahwa mukallid itu kafir, atau dia mantap dengan aqidah-aqidah itu meski dia tidak tahu dalil-dalilnya berdasarkan pendapat yang mengatakan bahwa mukallid itu mukmin.
Maka hendaklah kita menuntut ilmu untuk mengetahui aqidah-aqidah yang 50 itu secara ijmaly (global) sebelum menyebutkannya secara tafshily (terperinci), karena setiap ilmu adalah hamba bagi ilmu kalam. Karena banyak orang menuntut ilmu fiqih agar mensyahkan satu hukum kemudian dia melalaikan kedudukan hukum-hukum itu.
Dalam kitab Qotrul Ghoits oleh Syaikh al-Imam Abi al-Laits, bahwa Orang yang di masa kanak-kanak belajar Aku beriman kepada Allah, kepada para Malaikat, kepada kitab-kitab Allah, kepada para rasul Allah, kepada hari akhir (hari kiamat dan kehidupan akhirat) dan kepada Takdir yang terdiri dari takdir baik dan takdir buruk sebagai dari Allah SWT., pula ia mengerti bahwa ucapan itu sebagai poin-poin keimanan, tetapi ia tidak tahu makna dari poin-poin keimanan itu, adalah ia belum dikatakan beriman.
Bila anda ditanya lalu apakah yang dimaksud dengan keimanan? jawablah bahwa keimanan merupakan ungkapan tauhid (mengesakan Allah).
Keimanan itu dapat dicapai dengan jalan ma’rifat kepada Allah, ma’rifat adalah menemukan secara mantap tanpa keraguan dan sesuai kenyataan dengan suatu dalil. 

Sebagaimana firman Allah SWT


ﻓﺎﻋﻟﻢ ﺍﻧﻪ ﻵﺍﻟﻪ ﺍﻻ ﺍﷲ
Maka ketahuilah bahwa tiada Tuhan selain Allah …
(Q.S. 47/Muhammad: 19)

Ketahuilah bahwa syariat mewajibkan atas orang mukallaf mengetahui semua sifat yang wajib bagi Allah Ta’ala, semua sifat yang mustahil bagi Allah Ta’ala dan, semua yang boleh (jaiz) bagi Allah. Maka selama bisa didapatkan dalail-dalil rasional (‘aqliyah) atau transformal (naqliyah) terhadap hal-hal wajib, mustahil dan jaiz ini secara garis besar adalah demikian wajib diketahui secara garis besar. Yakni kita berkewajiban beriqtikad bahwa Allah Ta’ala bersifat sempurna tanpa batas bilangan dalam kenyataan.
Maka ketahuilah bahwasannya Wajib bagi Allah SWT itu 20 sifat:
1.       Wujud (ada)
2.      Qidam (dahulu)
3.      Baqa’ (kekal)
4.      Mukhalafatu lil Hawaditsi (berbeda dengan makhluk)
5.      Qiyamuhu Ta’ala Binafsihi (berdiri sendiri)
6.      Wahdaniyah (Esa)
7.      Qudrah (Kuasa)
8.      Iradah (berkehendak)
9.      Ilmu (mengetahui)
10.  Hayat (hidup)
11.  Sama’ (mendengar)
12.  Bashor (melihat)
13.  Kalam (berfirman)
14.  Qodiron (Yang Maha Kuasa)
15.  Muridan (Yang Maha Menghendaki)
16.  ‘Aliman (Yang Maha Mengetahui)
17.  Hayyan (Yang Maha Hidup)
18.  Sami’an (Yang Maha Mendengar)
19.  Bashiron (Yang Maha Melihat)
20.  Mutakalliman (Yang Maha Berfirman)

dan Mustahil atas-Nya 20 sifat:
1.      ‘Adam (tidak ada)
2.      Huduts (baru)
3.      Fana’ (binasa)
4.      Mumatsalatu lil Hawaditsi (sama dengan makhluk)
5.      Ihtiyajun Lighoirihi (butuh kepada yang lain)
6.      Ta’addud (bilangan)
7.      ‘Ajzun (lemah)
8.      Karahah (terpaksa)
9.      Jahlun (bodoh)
10.  Mautun (mati)
11.  Shamamun (tuli)
12.  ‘Amaa (buta)
13.  Bukmun (bisu)
14.  ‘Aajizan (yang lemah)
15.  Mukrahan (yang terpaksa)
16.  Jaahilan (yang bodoh)
17.  Mayyitan (yang mati)
18.  Ashamma (yang tuli)
19.  A’maa (yang buta)
20.  Abkama (yang bisu)
Semua sifat mustahil ini, Allah suci dari semuanya.

serta Jaiz pada hak Allah SWT satu perkara, yaitu Fi’lu kulli mumkinin au tarkuhu (mengerjakan atau tidak mengerjakan sesuatu yang mungkin), maka inilah 41 (aqidah).

Dan Wajib bagi para rasul itu 4 sifat:
1.      Shidiq (benar atau jujur)
2.      ‘Amanah (dapat dipercaya / terpelihara dari dosa)
3.      Tabligh (menyampaikan)
4.      Fathonah (cerdas)

dan Mustahil atas mereka itu 4 sifat:
1.      Kidzib (bohong)
2.      Khiyanat (tidak dapat dipercaya)
3.      Kitman (menyembunyikan)
4.      Baladah (bodoh)

serta Jaiz pada hak mereka itu -semoga atas mereka shalawat dan salam- satu perkara, yaitu Jamii’ul a’raadhil basyariyyah (terjadinya semua sifat pembawaan manusia), maka inilah dia yang 50 (aqidah itu).

Ketauhidan merupakan fondasi umat Islam, karena dengan keyakinan yang penuh harapan (sebagai nilai-nilai ketauhidan) akan muncul dengan mudah sikap dan perilaku terpuji. Bagaimana orang akan dengan ringan mengorbankan jiwa, raga dan harta (tanpa pamrih) bila mental spiritual tidak bermodal dasar harapan-harapan yang menjanjikan di kemudian hari yang di sana tidak laku lagi harta dan apapun selain nilai-nilai pemunculan tauhid.
Rasulullah SAW sebelum mengajarkan suatu syariat bahkan sebelum turun perintah shalat (di Isra’ Mi’raj) mendasari para shahabat dengan ketauhidan lebih dahulu. Bahkan periode Makah (hampir 13 tahun) adalah bisa disebut sebagai periode penempaan tauhid, dimana perintah shalat sebagai syariat pertama adalah (kurang lebih) satu tahun sebelum hijrah).
Untuk itu, agar tidak banyak tertipu di kehidupan sekarang ini haruslah mengabdi kepada ajaran tauhid, ajaran Islam dan ajaran kebenaran (al-haqq)

Logo

Logo