Saturday 1 October 2016

SIFAT IRODAH

Allah Wajib bersifat Irodah

Hakikat irodah adalah Al-Qosdu (sengaja) menentukan perkara jaiz dengan sebagian hal yang mumkin terjadi padanya, dan tetap bahwa irodah Allah berhubungan secara menyeluruh dengan semua mumkinat, sehingga pasti mustahil terjadinya sesuatu yang mumkin tanpa irodah Allah Ta’ala.

Kemustahilan terjadinya sesuatu yang mumkin tanpa irodah Allah Ta’ala itu menafikan irodah Allah Ta’ala terhadap kebalikan dari kenyataan terjadinya perkara mumkin tersebut, hal ini memandang ta’alluq tanjizi qodim dari irodah, bukan ta’alluq shuluhi qodim. Bila tidak demikian maka akan terjadi kumpulnya dhiddain (dua perkara yang berlawanan menjadi satu) padahal ijtima’ud dhiddain itu mustahil, seperti gerak dan diam terjadi secara bersamaan misalnya.

Irodah juga menafikan kebersifatan Allah Ta’ala dengan dzuhul (lalai) dan ghoflah (lupa), karena keduanya menafikan kehendak Allah yang merupakan makna irodah, dan menafikan wujudnya Allah sebagai ‘illat bagi wujudnya sesuatu yang mumkin atau sebagai faktor yang mempengaruhi wujudnya mumkin karena tabiatnya, karena sesungguhnya jika wujudnya Allah itu sebagai ‘illat bagi wujudnya sesuatu yang mumkin atau sebagai faktor yang mempengaruhi wujudnya mumkin karena tabiatnya maka hal tersebut melazimkan sesuatu yang mumkin itu menjadi qidam, karena ‘illat pasti bersamaan dengan ma’lulnya (yang di’illatinya) dan tabiat pasti bersamaan dengan matbu’nya (yang ditabiatinya). Adapun keqidaman sesuatu yang mumkin menafikan irodah wujudnya yang qodim, karena berkehendak mewujudkan sesuatu yang sudah wujud adalah mustahil karena termasuk kategori tahsilul hasil.

Dan karena tetapnya kepastian bahwa ‘illat bersamaan dengan ma’lulnya dan tabiat bersamaan dengan matbu’nya, maka jika meyakini bahwa penyandaran wujudnya alam semesta kepada Allah terjadi secara ta’lil (penyandaran ma’lul pada ‘illatnya) hal itu merupakan kekufuran yang sangat nyata karena meyakini atas keqidaman alam dan menafikan sifat wajib Allah Ta’ala yaitu Qudroh Irodah dan yang lainnya, sebagaimana keyakinan orang-orang falasifah.

Perbedaan antara penciptaan dengan cara ta’lil dan dengan cara thob’i, meskipun keduanya sama-sama meniadakan ikhtiar (irodah) yaitu bahwa penciptaan dengan cara ‘illat tidak tergantung pada wujudnya syarat dan tiadanya mani’ (pencegah). Sedangkan penciptaan dengan cara tabiat tergantung dengan wujudnya syarat dan tiadanya mani’ (pencegah).

Karena itu, ‘illat pasti bersamaan dengan ma’lulnya seperti gerakan jari bersamaan dengan gerakan cincin yang ada pada jari tersebut umpamanya, dan tabiat tidak pasti bersamaan dengan yang ditabiatinya, seperti membakarnya api bersamaan dengan kayu, karena kayu terkadang tidak terbakar ketika bersamaan dengan api karena adanya mani’ (pencegah) seperti basah yang ada pada kayu umpamanya, atau tidak terpenuhinya syarat, seperti sentuhan api padanya. Pemahaman ini adalah bagi dzat yang hadits (baru).

Adapun bagi dzat yang qodim (Allah Ta’ala) seandainya fi’ilnya (perbuatan-Nya) terjadi dengan cara ta’lil atau thob’I itu mustahil, karena jika dzat yang qodim (Allah Ta’ala) fi’ilnya terjadi dengan cara ta’lil yaitu meyakini bahwa Allah menjadi ‘illat dan alam menjadi ma’lulnya maka pasti alam tersebut juga menjadi qodim, dan menjadi tiadanya sifat qudrot irodah dan lainnya pada Allah Ta’ala. Adapun jika dzat yang qodim (Allah Ta’ala) fi’ilnya terjadi dengan cara thob’i yaitu Allah menjadikan sesuatu secara tabiat-Nya maka tidak sah ada mani’ (pencegah) disitu, karena jika ada mani’ disitu maka tidak akan ada fi’il Allah selamanya karena sesungguhnya mani’ tersebut pasti qadim, dan sesuatu yang qodim tidak akan pernah tiada selamanya, dan tidak sah pula tertundanya syarat disitu karena pasti menyebabkan tasalsul.

Karena itu, dalam penjelasan yang telah lewat berdasarkan pengandaian ta’lil dan thob’I bagi Allah Ta’ala, maka yang di ‘illati dan ditabiati pasti qidam, padahal sudah ada burhan yang menyatakan wajibnya sifat huduts bagi segala sesuatu yang selain Allah Ta’ala, dan sudah ada burhan yang menyatakan atas wajib qidam dan baqo’nya Allah Ta’ala. Maka mustahil bagi dzat yang qodim (Allah Ta’ala) fi’ilnya terjadi secara ta’lil maupun secara thob’I, sehingga tersimpulkan bahwa Allah Ta’ala dalam menentukan sesuatu murni dengan ikhtiar-Nya (irodah-Nya).

Monday 25 April 2016

MEMAHAMI KISAH NABI ADAM AS. DENGAN BENAR DALAM SURAH AL-BAQARAH AYAT 35

Dalam pemahaman aqidah Ahlussunnah waljamaah yang namanya Nabi dan Rasul adalah ma’shum (terpelihara dari dosa) karena mereka mempunyai sifat amanah, akan tetapi jika tidak memahami sifat-sifat kerasulan kemungkinan besar akan terpeleset ke dalam kesalahan aqidah dengan meyakini bolehnya dari kalangan Nabi dan Rasul melakukan dosa/melanggar larangan Allah (tidak ma’shum). padahal salah dalam masalah aqidah berarti salah pula dalam masalah keimanan.

Kesalahan ini berawal dari pemahaman tentang ayat Al-Qur’an yang mengisahkan para Nabi kemudian meyakini secara dhohirnya ayat yang disertai dengan tidak fahamnya masalah hukum aqli dalam memahami sifat risalah, sehingga yang terjadi pada sebagian besar orang akhir zaman yaitu meyakini bahwa Nabi dan Rasul selain Nabi Muhammad SAW boleh saja melakukan dosa,. Seperti yang terjadi pada kisah Nabi Adam as umpamanya. Padahal jika kita mau memahami kisah Nabi Adam as dengan benar maka sangat salah besar jika kita menganggap bahwa Nabi Adam as melakukan dosa/melanggar larangan Allah. Berikut ini adalah kisah Nabi Adam as secara singkat dalam Surat Al-Baqarah ayat 35 yang ditafsirkan oleh para Ulama Ahlussunnah Wal Jamaah dalam Kitab Faidhur Rahman Li-Syaikh Muhammad Shaleh Ibnu Umar As-Samarany (Mbah Sholeh Darat) 

Surat Al-Baqarah ayat 35 yang Artinya : 

dan Kami berfirman : "Hai Adam, diamilah oleh kamu dan isterimu (Hawa) surga ini, dan makanlah oleh kalian makanan-makanannya yang banyak lagi baik yang tidak ada larangan sama sekali, dimana saja yang kamu sukai, dan janganlah kalian dekati pohon ini yang menyebabkan kamu termasuk orang-orang yang zalim. (Yakni sesungguhnya Allah memberikan perintah kepada nabi adam dan hawa untuk menempati dan berdiam di dalam surga yang kekal, yaitu tempat yang disediakan untuk orang-orang yang bertaqwa kepada Allah ۝ nabi adam dan hawa diperbolehkan untuk makan dan minum yang ada di surga seluruhnya sekehendak mereka berdua ۝ tanpa ada larangan ۝ tetapi Allah Subhanahu Wa Ta’ala mencegah satu pohon kayu hinthoh gandum atau kurma / anggur ۝ dan Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman : hai Adam dan Hawa kalian jangan sekali-kali mendekati pohon ini untuk dimakan atau selainnya ۝ jika kalian mendekatinya, maka kalian menjadi orang yang meninggalkan sesuatu yang utama dan melakukan sesuatu yang diperbolehkan ۝ maka jika seperti itu tidaklah pantas bagimu wahai adam.)

dan wajib bagi orang yang beriman untuk meyakini dan mengimankan bahwa sesungguhnya semua para nabi itu ma’shumun (terpelihara dari dosa), dari melakukan dosa besar maupun dosa kecil baik secara dhohir maupun bathin ۝ adapun makannya nabi adam as atas syajaroh secara bathin adalah ma’murun yaitu diperintah ۝ karena asal dijadikannya nabi adam adalah untuk menjadi kholifah di bumi bukan kholifah di langit ataupun di surga ۝ qoola ta’ala inni jaa’ilun fil ardhi kholifah @ dan sebagian dari syaratnya menjadi kholifah di bumi adalah memakan syajaroh ۝ maka seakan-akan Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman kepada nabi adam : Yaa Adam besok jika kamu sudah berada di surga maka kami (Allah) berfirman kepadamu mencegah untuk makan syajaroh ۝ karena itu maka makanlah supaya kamu kelihatan berdosa ۝ kemudian kamu akan diberikan kalimah yang digunakan sebagai perabot untuk orang yang berdosa supaya anak cucumu mengikuti cara bertaubatmu, selain itu jika kamu tidak memakan syajaroh, maka kamu juga tidak turun-turun ke bumi, padahal kamu akan dijadikan sebagai kholifah di bumi ۝

Dari arah itu berkata Syaikh Abu Madyan At-Tilimsani : jika saya menjadi gantinya Nabi Adam pasti saya makan seluruhnya syajaroh itu ۝ dan jika Nabi Adam melihat akhir dari dirinya ketika makan syajaroh maka pasti dimakan seluruhnya maka sesungguhnya nabi adam memakan syajaroh adalah dengan idzin Allah Subhanahu Wa Ta’ala ۝ adapun nangisnya nabi adam sampai 200 tahun dan sengsara adalah karena arah untuk mengajarkan kepada anak cucunya.

Maka yang harus dipahami bahwa segala sesuatu yang dilakukan oleh nabi dan rasul adalah merupakan contoh bagi ummatnya, adapun orang yang mencontohkan perbuatan salah maka sebenarnya orang tersebut tidaklah salah, karena salah yang ia lakukan hanya memberikan contoh tentang perbuatan yang salah agar orang yang dicontohi bisa memahami dari pelajaran yang telah dicontohkan tersebut. 

Jadi jangan sekali-jadi mempunyai keyakinan bahwa yang namanya nabi dan rosul boleh terkena salah, karena itu akan mengakibatkan keluarnya dari keimanan. Semoga kita mendapatkan petunjuk dan diberikan pertolongan oleh Allah. Amiin

Wallahu A’lam

Wednesday 6 April 2016

INDRA KE-ENAM

Ciri khas dari pemahaman aqidah ahlussunah wal jama’ah adalah pemahaman terhadap sifat 20 dengan metode pemahaman hukum aqal, maka memahami hukum aqal ini menjadi penting karena dalam memahami sifat 20 tersebut tergantung atas pemahaman daripada hukum aqal,[1] dengan aqal pula kita bisa menemukan perkara yang pantas bagi Allah dan perkara yang tidak pantas bagi Allah.
Apa itu aqal??? Aqal adalah alatun lil idrok (alat untuk menemukan) dan Sesungguhnya perkara yang ditemukan oleh aqal (yaitu aqalnya orang sedunia yang masih waras) itu tidak keluar dari 3 perkara yaitu wujub, istihalah dan jawaz, wujub adalah ‘Adamu Qobulil Intifa-I yaitu tidak menerima tiada, istihalah adalah ‘Adamu Qobulits Tsubuti yaitu tidak menerima tetap, dan jawaz adalah Qobulul Intifa-i Wats-Tsubuti ‘Ala Sabiilit Tanaawubi yaitu menerima tiada dan menerima tetap atas jalan bergantian.

BUKTI BARUNYA ALAM

Apa buktinya jika alam ini diciptakan??? Bagaimana caranya kita mengetahui bahwa alam ini benar-benar diciptakan??? Bumi ini misalnya, apakah bumi ini diciptakan??
Kalau bumi ini diciptakan berarti sebelum diciptakannya, tentu bumi pernah tidak ada. Lalu apa buktinya bahwa bumi ini pernah tidak ada???

Dasar Agama

Wednesday 30 March 2016

Logo

Logo