Wednesday 6 April 2016

INDRA KE-ENAM

Ciri khas dari pemahaman aqidah ahlussunah wal jama’ah adalah pemahaman terhadap sifat 20 dengan metode pemahaman hukum aqal, maka memahami hukum aqal ini menjadi penting karena dalam memahami sifat 20 tersebut tergantung atas pemahaman daripada hukum aqal,[1] dengan aqal pula kita bisa menemukan perkara yang pantas bagi Allah dan perkara yang tidak pantas bagi Allah.
Apa itu aqal??? Aqal adalah alatun lil idrok (alat untuk menemukan) dan Sesungguhnya perkara yang ditemukan oleh aqal (yaitu aqalnya orang sedunia yang masih waras) itu tidak keluar dari 3 perkara yaitu wujub, istihalah dan jawaz, wujub adalah ‘Adamu Qobulil Intifa-I yaitu tidak menerima tiada, istihalah adalah ‘Adamu Qobulits Tsubuti yaitu tidak menerima tetap, dan jawaz adalah Qobulul Intifa-i Wats-Tsubuti ‘Ala Sabiilit Tanaawubi yaitu menerima tiada dan menerima tetap atas jalan bergantian.
Agar lebih memudahkan dalam memahami penemuan aqal tersebut kita gambarkan pada hawasul khomsi (indra yang lima) yaitu mata, telinga, hidung, lidah dan kulit. maka kelima indra tersebut adalah alat untuk menemukan sesuatu, misalnya mata, maka yang ditemukan oleh mata tidaklah keluar dari 2 perkara yaitu warna dan bentuk, maka mata di dalam kerjanya tidak menemukan selain 2 perkara tersebut, sedangkan telinga di dalam kerjanya hanya menemukan satu perkara yaitu suara, dan begitu juga 3 indra yang lain di dalam kerjanya juga menemukan sesuatu yang dikerjakannya.
Maka perkara yang ditemukan oleh indra-indra tersebut adalah sifat yaitu sifatnya perkara yang dikerjakan olehnya, begitu juga wujub istihalah dan jawaz ketiga-tiganya juga sifat yaitu sifatnya perkara yang dikerjakan oleh aqal, misalnya ketika kita menemukan sesuatu pada radio jika kita menemukannya menggunakan mata maka tidak keluar dari warna dan bentuk, yaitu warna dan bentuknya radio tersebut, maka warna dan bentuk adalah sifatnya radio yaitu sifatnya perkara yang ditemukan oleh mata bukan sifatnya mata, begitu juga ketika kita menemukan sesuatu pada radio tersebut jika menemukannya menggunakan telinga maka yang ditemu adalah suara dari radio tersebut, suara adalah sifatnya radio yaitu sifatnya perkara yang ditemukan oleh telinga bukan sifatnya telinga, begitu juga ketika kita menemukan sesuatu pada radio tersebut dengan menggunakan aqal maka yang ditemu adalah wujubnya, istihalahnya dan jawaznya radio tersebut, maka wujub istihalah jawaz adalah sifatnya perkara yang ditemukan aqal bukan sifatnya aqal, wujubnya radio yaitu sesuatu yang harus ada pada radio tersebut menurut aqal misalnya menempat, istihalahnya radio yaitu sesuatu yang tidak boleh ada pada radio tersebut menurut aqal  misalnya tidak menempat, dan jawaznya radio yaitu sesuatu yang boleh ada dan boleh pula tiada pada radio tersebut menurut aqal misalnya menempat tidak harus pada radio, boleh saja pada selain radio.
Kita gambarkan seumpama ada si A menyuruh kepada si B untuk diambilkan radio, maka pasti si B akan menanyakan kepada si A dimana radionya?, dan ketika si A menjawab kepada si B bahwa radionya tidak dimana-mana maka pasti si B tidak akan membenarkan pernyataan dari si A, akal si B akan menuntut bahwa yang namanya benda harus berada dimana, dimana itu menunjukan tempat bahwa aqal si B tidak menerima bahwa ada benda yang tidak menempat, dan inilah gambaran dari wujubnya radio bahwa yang namanya radio harus mempunyai tempat, maka menempatnya si radio dihukumi wajib, istihalahnya adalah radio tersebut tidak menempat maka dihukumi mustahil, dan jawaznya adalah yang menempat itu tidak harus pada radio tapi boleh saja pada handphone misalnya. Maka pahamilah.
Maka wujub istihalah jawaz adalah sifatnya perkara (syai’) yang dikerjakan oleh akal, syai’ itu ada 4 yaitu 1) Maujud (perkara yang sah dilihat dan maujud adalah yang paling tinggi derajatnya), 2) Ma’dum (sesuatu yang tidak ada ketetapan baginya dan ma’dum adalah yang paling rendah derajatnya), 3) Hal (sesuatu yang ada di tengah-tengah antara maujud dan ma’dum dan hal lebih rendah derajatnya daripada maujud dan lebih tinggi dari I’tibar) dan 4) I’tibar (sesuatu yang berdasarkan pandangan, derajatnya lebih rendah daripada hal dan lebih tinggi daripada ma’dum).[2]
Maka jika akal mengerjakan 4 perkara tersebut di dalam kerjanya si aqal tidak keluar dari wujub istihalah dan jawaz, jadi wujub istihalah jawaz adalah sifatnya perkara yang dikerjakan (muta’allaq) si aqal bukan sifatnya aqal, karena jika wujub istihalah jawaz merupakan sifatnya aqal maka ketahuilah bahwa yang namanya hukum adalah itsbatu amrin li amrin au nafyuhu ‘anhu yaitu menetapkan perkara pada perkara atau meniadakan perkara dari perkara, itu artinya adalah idrokul hakim tsubuta amrin li amrin au nafyahu yaitu menemukannya si hakim atas tetapnya perkara pada perkara atau menemukannya si hakim atas tiadanya perkara dari perkara, maka jika idrok (menemukan) itu wujub maka pasti semua manusia harus ‘alim semua tentang aqidah, sedangkan kalau idrok (menemukan) itu istihalah maka pasti semua manusia harus bodoh semua tentang aqidah. Maka ini tidak sesuai dengan kenyataan, karena bathal bi-musyahadah.
Jika wujub istihalah jawaz merupakan sifatnya aqal maka ketahuilah bahwa yang namanya dzat dan sifat itu adalah lazim, maka jika sifatnya dibagi menjadi tiga maka aqalnya menjadi 3 pula, maka jika aqal itu wujub maka aqal itu tidak boleh tiada, dan ketika aqal itu istihalah maka aqal tersebut harus tiada, dan ini adalah bathal.





[1] Muhammad Al-Fudholi, Kifayatul ‘Awam
[2] Muhammad Al-Fudholi, Kifayatul ‘Awam

No comments:

Post a Comment

Logo

Logo