Ciri
khas dari pemahaman aqidah ahlussunah wal jama’ah adalah pemahaman terhadap
sifat 20 dengan metode pemahaman hukum aqal, maka memahami hukum aqal ini
menjadi penting karena dalam memahami sifat 20 tersebut tergantung atas
pemahaman daripada hukum aqal,[1]
dengan aqal pula kita bisa menemukan perkara yang pantas bagi Allah dan perkara
yang tidak pantas bagi Allah.
Apa itu aqal??? Aqal
adalah alatun lil idrok (alat untuk
menemukan) dan Sesungguhnya perkara yang ditemukan oleh aqal (yaitu aqalnya orang sedunia yang masih waras) itu tidak keluar
dari 3 perkara yaitu wujub, istihalah dan jawaz, wujub adalah ‘Adamu Qobulil Intifa-I yaitu tidak
menerima tiada, istihalah adalah ‘Adamu
Qobulits Tsubuti yaitu tidak menerima tetap, dan jawaz adalah Qobulul Intifa-i Wats-Tsubuti ‘Ala Sabiilit
Tanaawubi yaitu menerima tiada dan menerima tetap atas jalan bergantian.
Maka
perkara yang ditemukan oleh indra-indra tersebut adalah sifat yaitu sifatnya
perkara yang dikerjakan olehnya, begitu juga wujub istihalah dan jawaz
ketiga-tiganya juga sifat yaitu sifatnya perkara yang dikerjakan oleh aqal,
misalnya ketika kita menemukan sesuatu pada radio jika kita menemukannya
menggunakan mata maka tidak keluar dari warna dan bentuk, yaitu warna dan
bentuknya radio tersebut, maka warna dan bentuk adalah sifatnya radio yaitu
sifatnya perkara yang ditemukan oleh mata bukan sifatnya mata, begitu juga
ketika kita menemukan sesuatu pada radio tersebut jika menemukannya menggunakan
telinga maka yang ditemu adalah suara dari radio tersebut, suara adalah
sifatnya radio yaitu sifatnya perkara yang ditemukan oleh telinga bukan
sifatnya telinga, begitu juga ketika kita menemukan sesuatu pada radio tersebut
dengan menggunakan aqal maka yang ditemu adalah wujubnya, istihalahnya dan
jawaznya radio tersebut, maka wujub istihalah jawaz adalah sifatnya perkara
yang ditemukan aqal bukan sifatnya aqal, wujubnya radio yaitu sesuatu yang
harus ada pada radio tersebut menurut aqal misalnya menempat, istihalahnya
radio yaitu sesuatu yang tidak boleh ada pada radio tersebut menurut aqal misalnya tidak menempat, dan jawaznya radio
yaitu sesuatu yang boleh ada dan boleh pula tiada pada radio tersebut menurut
aqal misalnya menempat tidak harus pada radio, boleh saja pada selain radio.
Kita
gambarkan seumpama ada si A menyuruh kepada si B untuk diambilkan radio, maka
pasti si B akan menanyakan kepada si A dimana radionya?, dan ketika si A
menjawab kepada si B bahwa radionya tidak dimana-mana maka pasti si B tidak
akan membenarkan pernyataan dari si A, akal si B akan menuntut bahwa yang
namanya benda harus berada dimana, dimana itu menunjukan tempat bahwa aqal si B
tidak menerima bahwa ada benda yang tidak menempat, dan inilah gambaran dari
wujubnya radio bahwa yang namanya radio harus mempunyai tempat, maka
menempatnya si radio dihukumi wajib, istihalahnya adalah radio tersebut tidak
menempat maka dihukumi mustahil, dan jawaznya adalah yang menempat itu tidak
harus pada radio tapi boleh saja pada handphone misalnya. Maka pahamilah.
Maka
wujub istihalah jawaz adalah sifatnya perkara (syai’) yang dikerjakan oleh
akal, syai’ itu ada 4 yaitu 1) Maujud (perkara yang sah dilihat dan
maujud adalah yang paling tinggi derajatnya), 2) Ma’dum (sesuatu yang tidak ada ketetapan baginya dan ma’dum
adalah yang paling rendah derajatnya), 3)
Hal (sesuatu yang ada di tengah-tengah antara maujud dan ma’dum dan hal
lebih rendah derajatnya daripada maujud dan lebih tinggi dari I’tibar) dan 4) I’tibar (sesuatu yang berdasarkan
pandangan, derajatnya lebih rendah daripada hal dan lebih tinggi daripada
ma’dum).[2]
Maka
jika akal mengerjakan 4 perkara tersebut di dalam kerjanya si aqal tidak keluar
dari wujub istihalah dan jawaz, jadi wujub istihalah jawaz adalah sifatnya
perkara yang dikerjakan (muta’allaq) si aqal bukan sifatnya aqal, karena jika wujub
istihalah jawaz merupakan sifatnya aqal maka ketahuilah bahwa yang namanya hukum
adalah itsbatu amrin li amrin au nafyuhu
‘anhu yaitu menetapkan perkara pada perkara atau meniadakan perkara dari
perkara, itu artinya adalah idrokul hakim
tsubuta amrin li amrin au nafyahu yaitu menemukannya si hakim atas tetapnya
perkara pada perkara atau menemukannya si hakim atas tiadanya perkara dari
perkara, maka jika idrok (menemukan) itu
wujub maka pasti semua manusia harus ‘alim semua tentang aqidah, sedangkan
kalau idrok (menemukan) itu istihalah
maka pasti semua manusia harus bodoh semua tentang aqidah. Maka ini tidak
sesuai dengan kenyataan, karena bathal
bi-musyahadah.
Jika
wujub istihalah jawaz merupakan sifatnya aqal maka ketahuilah bahwa yang
namanya dzat dan sifat itu adalah lazim, maka jika sifatnya dibagi menjadi tiga
maka aqalnya menjadi 3 pula, maka jika aqal itu wujub maka aqal itu tidak boleh
tiada, dan ketika aqal itu istihalah maka aqal tersebut harus tiada, dan ini
adalah bathal.
No comments:
Post a Comment