Tuesday 25 December 2018

Sifat Wujud

Allah wajib Wujud artinya Allah wajib ada, mustahil Allah tidak ada. dan makna wujud ini diperselisihkan oleh para ulama tauhid, sebagian ulama berpendapat bahwa wujud itu adalah sifat yang tidak tampak secara nyata, jadi dia adalah hal artinya bahwa wujud itu adalah wasithoh bainal wujud wal ‘adam (batas antara ada dan tiada). Sebagian mereka lagi diantaranya Imam Abu Hasan Ali Al-Asy’ari berpendapat bahwa wujud adalah ‘ainul maujud (Dzat itu sendiri), dengan arti bahwa wujud itu tidak ada tambahan pada Dzat yang wujud dan dapat dibuktikan secara nyata seperti Dzat apabila hijab kita dibuka oleh Allah, maka kita akan melihat wujud itu sebagaimana sifat-sifat ma’ani.

 

Dalam menghitung wujud sebagai sifat berdasarkan Madzhab Syaikh Abu Hasan Al-Asy’ari merupakan tasamuh (majaz), karena wujud merupakan ‘Ainud Dzat (Dzat Allah itu sendiri), bukan selainnya, dan Dzat Allah bukanlah suatu sifat. Namun ketika dalam pelafalan wujud dijadikan sifat bagi Dzat Allah, dan dikatakan “Dzat Allah Jalla Wa ‘Azza itu maujud” maka secara umum wujud sah dihitung sebagai suatu sifat. Adapun menurut madzhab ulama yang menjadikan wujud sebagai sesuatu yang bukan Dzat Allah, sebagaimana Imam Ar-Razi, maka menghitungnya sebagai bagian dari sifat-sifat Allah adalah benar dan tidak ada tasamuh di dalamnya.

 

Bukti wujudnya Allah Ta’ala adalah hudutsnya alam (barunya alam), karena seandainya alam tidak ada yang menciptakan, namun ada dengan sendirinya, maka pasti lazim adanya salah satu dari dua perkara yang sama, yang menyamai selainnya, dan yang mengunggulinya tanpa sebab, dan hal itu muhal.

 

Dan bukti barunya alam adalah bahwa alam selalu menetapi a’rodl (sifat-sifat baru) seperti bergerak, diam, dan selainnya. Padahal sesuatu yang selalu menetapi sifat baru adalah baru. Maka a’rodl menjadi dalil bahwa alam ini diciptakan (a’rodl menjadi dalil dan barunya alam menjadi madlulnya).

 

Adapun bukti barunya a’rodl adalah perubahannya yang terlihat oleh mata dari tiada menjadi ada, dan dari ada menjadi tiada, maka berubah-ubah (taghoyyur) menjadi dalil barunya a’rodl (taghoyyur menjadi dalil dan a’rodl menjadi madlulnya).

 

Tidak samar lagi bahwa alam yaitu langit, bumi, segala sesuatu yang ada di dalam keduanya, dan segala sesuatu yang ada diantara keduanya, merupakan jirim yang selalu menetapi sifat baru yang ada padanya, yaitu bergerak, diam, dan selainnya.

 

Untuk mengetahui barunya sesuatu kita cukup dengan batasan pada gerak dan diam saja, karena mengetahui kepastian jirim pada keduanya merupakan kebenaran yang pasti diakui oleh semua orang berakal. Tidak diragukan lagi wajibnya sifat huduts (baru) bagi masing-masing dari bergerak dan diam. Karena seandainya salah satunya qodim, maka pasti sama sekali ia tidak dapat menerima ketiadaan selamanya, karena sesuatu yang telah tetap qidamnya maka mustahil ‘adamnya (tiadanya). Tidak samar lagi bahwa masing-masing dari gerak dan diam pasti bisa ‘adam (tiada), karena telah disaksikan ‘adamnya (tiadanya) salah satu dari keduanya dengan wujudnya (adanya) lawannya dalam berbagai jirim, maksudnya jika jirim itu wujud (ada) geraknya maka ‘adam (tiada) diamnya, begitu pula jika wujud diamnya maka ‘adam geraknya. Sehingga hal itu memastikan kesamaan berbagai jirim dalam hal wujudnya salah satu dari gerak dan diam pada suatu jirim. Dengan demikian maka tetaplah kehudutsan keduanya (gerak dan diam) dan mustahil wujud keduanya pada azali secara pasti, karena mustahil terlepasnya jirim dari keduanya (mustahil jirim tiada gerak dan tiada diam secara bersamaan).

 

Adapun barunya salah satu dari dua perkara yang saling melazimi, maka pasti menetapkan barunya sesuatu yang lain. Maka ini menjadi dalil bahwa jirim itu baru, jirim merupakan sesuatu yang baru karena melazimi sesuatu yang baru yaitu arodl.

 

Maka dengan penjelasan-penjelasan di atas telah jelas bahwa alam itu baru, dan pastilah alam butuh kepada Dzat yang menciptakannya. Karena seandainya sesuatu yang baru itu ada tanpa ada yang menciptakan, maka akan terjadi suatu keunggulan tanpa ada yang mengunggulkan. Karena alam ini sebelum wujudnya adalah sesuatu yang mumkin artinya wujud dan ‘adamnya derajatnya sama, jadi sebelum alam ini wujud maka boleh saja jika alam ini wujud dan boleh pula jika alam ini ‘adam. Ketika alam ini wujud, sedangkan ‘adamnya hilang, maka kita mengerti bahwa wujudnya alam mengalahkan ‘adamnya, padahal sebelum wujudnya, alam ini wujudnya punya derajat yang sama dengan ‘adamnya, dan tidak dapat dibenarkan jika wujudnya alam ini mengalahkan ‘adamnya dengan sendirinya, karena kedua perkara tersebut derajatnya adalah sama, jika demikian maka jelaslah bahwa wujudnya alam ini ada yang menciptakan. Bagi orang yang berakal pasti tidak akan membenarkan bahwa salah satu dari dua piringan neraca (timbangan) yang keduanya itu sama berat dan seimbang, misalnya yang kiri turun ke bawah sampai ke tanah karena suatu sebab, tiba-tiba piringan yang kanan mengungguli yang kiri dan piringan yang kiri itu naik setinggi mungkin tanpa adanya sebab yang mendorongnya, barangsiapa yang membenarkan hal tersebut maka orang itu adalah orang yang sangat dungu dan gila. Karena unggul tanpa ada yang mengunggulkan adalah perkara yang mustahil.

 

Dan seandainya alam tidak ada penciptanya, namun tercipta dengan sendirinya maka pastilah akan menjadi terkumpulnya dua perkara yang saling menafikan (ijtimaun naqidlain), akan terjadi adanya dua perkara yang derajatnya sama, menjadi unggul tanpa ada yang mengunggulkan, karena pada hakikatnya wujudnya alam ini mumkin (yaitu wujudnya alam derajatnya sama dengan ketiadaannya), seandainya salah satunya ada tanpa pencipta, maka pasti salah satunya tersebut telah mengungguli yang lainnya padahal ia derajatnya sama dengan yang lainnya, sebab penerimaan setiap jirim pada keduanya (wujud, ‘adam) adalah sama yaitu boleh saja jirim itu wujud dan boleh saja jirim itu ‘adam.

 

Maka sungguh menjadi lazim bahwa seandainya ada sesuatu dari alam yang wujud dengan sendirinya tanpa pencipta, maka pasti lazim terjadi berkumpulnya perkara yang sama dan unggul keduanya yang saling menafikan. Padahal yang seperti itu adalah muhal (muhal berkumpulnya wujud dan ‘adam pada satu jirim secara bersamaan).

 

Kesimpulan :

1.      Bukti adanya Allah

Bukti Allah itu ada yaitu barunya alam, alam ini adalah baru, dan sesuatu yang baru pasti ada yang membarukan.

2.      Bukti barunya alam

Bukti barunya alam yaitu bahwa alam selalu menetapi a’rodl yaitu sifat yang berubah-ubah, seperti gerak dan diam.

3.      Bukti barunya ‘arodl

Adapun bukti barunya a’rodl adalah perubahannya yang terlihat oleh mata dari tiada menjadi ada, dan dari ada menjadi tiada. Misalnya dari tiada gerak menjadi ada gerak, dari ada gerak menjadi tiada gerak.

4.      Bukti barunya jirim

Jirim merupakan sesuatu yang baru karena melazimi sesuatu yang baru yaitu arodl, karena barunya salah satu dari dua perkara yang saling melazimi, maka pasti menetapkan barunya sesuatu yang lain

 

Adapun pengertian bahwa yang menciptakan alam ini hanyalah Allah (kita bisa tahu bahwa yang menciptakan alam ini namanya Allah) tidaklah dapat diperoleh dengan menggunakan dalil aqli, tetapi dari khobarnya para rasul ‘alaihimus sholatu was-salam. Wallahu A’lam Bis-Showab

 

 


1 comment:

  1. Asalamu Alaikum.. luar biasa pemaparannya Runut jelas..terima kasih semoga Istiqomah dalam kebenaran..aamiin

    ReplyDelete

Logo

Logo