Thursday 30 May 2019

LOGO WMJ NEW


Logo WMJ Baru


Logo Majlis Ta'lim

Logo Yayasan

Sunday 30 December 2018

MAKNA REZEKI

Rezeki menurut Ahlussunnah Wal Jama’ah adalah sesuatu yang sudah diambil manfaatnya dengan perbuatan. Missal jika berupa makanan berarti sudah dimakan, jika berupa pakaian berarti sudah dipakai. Maka jika ada seseorang yang memiliki padi tetapi belum dimanfaatkan maka padi tersebut belum bisa disebut rezeki bagi pemiliknya, hal itu baru berupa sesuatu yang ia miliki saja belum disebut sebagai rezekinya.

 

Adapun kaum Muktazilah mengatakan bahwa rezeki bukanlah sesuatu yang sudah dimanfaatkan, tetapi rezeki menurut mereka adalah sesuatu yang sudah dimiliki. Dengan demikian, orang yang memiliki padi sudah disebut orang yang diberi rezeki. Pendapat ini tidak boleh diikuti, dan juga tidak boleh diyakini, karena Allah adalah pemilik tujuh langit dan bumi, sehingga sesuatu yang dimiliki tidak boleh disebut sebagai rezeki.

 

Pendapat kaum Muktazilah ini menetapkan bahwa seseorang mungkin saja memakan rezeki orang lain. Padahal seharusnya tidak seperti itu, seseorang tidak akan memakan rezeki orang lain sebagaimana seorang tamu tidaklah memakan rezekinya tuan rumah, akan tetapi tamu tersebut memakan rezekinya tamu itu sendiri meskipun yang ia makan adalah pemberian dari yang dimiliki tuan rumah tersebut. Maka ketika ada seseorang yang mendapatkan duit, kemudian dia berkata : "Alhamdulillah dapat rezeki", berarti dia ikut Madzhabnya Muktazilah. Na'udzubillahi Min Dzalika

ANTARA USAHA DAN TAWAKAL

Para Ulama berbeda pendapat tentang mana yang lebih utama antara kasab (melakukan usaha) dan tawakal dengan meninggalkan usaha.

-          Menurut sebagian ulama lebih utama kasab (berusaha), yaitu dengan bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup, seperti berdagang, bertani, menjadi tukang jahit, atau tukang kayu, dan lain sebagainya. Sebab dengan bekerja seseorang tidak akan tamak terhadap apa yang dimiliki orang lain, tidak mengharapkan pemberian orang lain, dan bisa memiliki keleluasaan berbuat baik kepada orang lain dengan bersedekah dan menyambung tali silaturahim.

-          Sedangkan ulama yang lain ada yang berpendapat bahwa tawakal itu lebih baik daripada melakukan usaha, hanya berserah diri kepada Allah dan memutuskan pandangannya dari segala macam usaha. Sebab dengan bertawakal seseorang bisa meninggalkan dunia, tidak mencintai dunia, tidak berkumpul dengan ahli dunia, serta bisa selamat dari fitnah dunia. Karena “Ad-dunya Halaluhaa Hisaabun, Wa-Haromuhaa ‘iqoobun” artinya dunia itu perkara halalnya akan dihisab dan perkara haromnya akan disiksa. Diriwayatkan dalam sebuah hadits : “Barangsiapa mencukupkan dirinya kepada Allah maka Allah mencukupkan segala keperluannya dan memberikan rezeki yang tidak disangka-sangka. Barangsiapa memantapkan dirinya kepada dunia, maka Allah menyerahkan urusan orang tersebut pada dunia”.

-          Adapun pendapat yang unggul adalah memerinci pendapat-pendapat ulama tersebut. Hasil perinciannya adalah hokum usaha dan tawakal berbeda-beda sesuai dengan kondisi masing-masing.

a.       Seseorang yang mampu bersabar menghadapi kesulitan kebutuhan hidup dan tidak tamak kepada manusia, tidak meminta-minta, dan tidak membenci takdir Allah atas kefakirannya, maka dia lebih utama bertawakal. Karena hal tersebut bisa menjadi sebab berhasilnya memerangi hawa nafsu.

b.      Seseorang yang belum bisa bersabar, maka lebih utama melakukan kasab (usaha), jangan sampai ia membenci takdir Allah atas kefakiran yang menimpa dirinya. Bahkan terkadang juga diwajibkan baginya untuk berusaha.

 

Perincian ini hanya berlaku pada pendapat yang menyatakan bahwa tawakal merusak usaha, “Barangsiapa berusaha, berarti dia tidak bertawakal”. Mayoritas ulama menyatakan bahwa tawakal bukan berarti meniadakan usaha. Terkadang seseorang berusaha disertai tawakal, dan tawakalnya tidak rusak karena dia melakukan usaha, sebab makna tawakal adalah percaya dan berpegang teguh kepada Allah walaupun disertai melakukan sebuah usaha.

 

Kesimpulannya, di zaman yang seperti ini melakukan usaha lebih utama, sebab keimanan dan keislaman orng awam tidak akan sempurna kecuali jika memiliki harta.

-          Sayyidina Anas r.a. meriwayatkan, Rasulullah bersabda : “Sebaik-baik penolong takwa kepada Allah adalah harta”.

-          Rasulullah bersabda : “Sesungguhnya kefakiran bagi sahabatku adalah sebuah kebahagiaan, sedangkan kekayaan bagi orang mukmin di akhir zaman adalah kebahagiaan (HR. Jabir).

-          Rasulullah juga bersabda : “Kemuliaan seorang mukmin adalah ketika dia tidak butuh bantuan manusia”.

-          Rasulullah bersabda : “Aku memerintahkan semua umatku agar tidak berpegangan atau menggantungkan harapan pada takdir”. Seorang sahabat bertanya : “Kenapa kami tidak diperbolehkan berpegangan pada takdir dengan meninggalkan beramal?”. Rasulullah menjawab : “Jangan !!! beramallah, karena setiap orang akan dimudahkan pada takdirnya masing-masing”. (HR. Bukhari). Jika seseorang ditakdirkan celaka, ia akan mudah melakukan kemaksiatan. Jika ditakdirkan bahagia, ia akan mudah melakukan ketaatan. Jika ditakdirkan kaya, pekerjaannya akan berjalan lancar. Jika ditakdirkan miskin, pekerjaannya akan sulit.

-          Diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud r.a. Rasulullah saw bersabda : “Berusaha mencari rezeki yang halal (untuk menafkahi anak istrinya) adalah suatu kewajiban setelah kewajiban melakukan shalat fardhu 5 waktu”. Adapula yang berpendapat merupakan kewajiban setelah rukun Islam, atau kewajiban setelah iman dan shalat. Karena beribadah adalah suatu kewajiban yang tidak bisa sempurna apabila belum bisa mencukupi nafkah anak dan istrinya, maka berusaha mencari nafkah menjadi wajib hukumnya. Hal ini sesuai dengan kaidah : Maa layatimmul waajibu illa bihi fahuwa waajibun (sesuatu yang mana suatu kewajiban tidak akan sempurna tanpanya, maka sesuatu tersebut hukumnya wajib).

-          Rasululah bersabda : “Mencari rezeki yang halal wajib hukumnya bagi setiap orang muslim laki-laki”. Hadits ini menunjukkan bahwa bekerja mencari nafkah hukumnya adalah wajib agar tidak menjadi pengemis, karena mengemis hukumnya adalah haram.

 

Kewajiban bekerja jangan sampai dilakukan dengan cara merendahkan diri dihadapan musuh Allah, melakukan kedzaliman, atau menjadi pelayan pemimpin yang dzalim. Carilah rezeki yang halal sesuai dengan yang disyariatkan oleh agama.

 

Imam Ghazali berkata : “Membawa bekal dalam perjalanan agar bisa menolong orang muslim adalah lebih utama, hal yang diperhitungkan adalah niatnya. Masuk hutan tanpa membawa bekal apapun dengan alasan tawakal kepada Allah hukumnya adalah bid’ah. Tidak ada orang terdahulu yang melakukannya karena membahayakan keselamatan jiwa. Allah berfirman dalam surat Al-Baqarah ayat 195 yang artinya : “Jangan meletakkan hidupmu dalam kehancuran”.

 


Thursday 27 December 2018

Apakah Kita ???

1.      Apakah adanya kita pernah meminta kepada Allah untuk diadakan? 

2.      Apakah setelah kita ada, kita akan tahu apa yang akan terjadi pada kita nantinya?? 

3.      Apakah semua yang terjadi pada diri kita sesuai dengan apa yang kita inginkan??? 

4.      Apakah kita percaya dengan Dzat yang mengatur kejadian alam ini untuk mengatur apa yang terjadi pada diri kita??? kalau percaya kenapa kita masih ikut campur untuk mengatur diri kita sendiri?? padahal yang kita pikirkan tentang hari esok pun belum tentu kitanya sampai kepada hari esok, barangkali mati terlebih dahulu sebelum datangnya hari esok.

5.      Apakah kita bisa mengadakan diri kita sendiri??? kalau tidak bisa berarti bukan hak kita untuk mengatur diri kita sendiri, karena diri kita bukanlah milik kita, tapi milik yang menjadikan kita yaitu Allah.

6.      Apakah dunia ini yang menjadikan kita??? kalau dunia ini bukan kita yang menjadikan berarti dunia ini bukanlah milik kita, jika dunia ini diibaratkan sebagai rumah maka dunia ini bukanlah rumah kita karena bukan kita yang membuatnya, kita hanya bertamu, maka sebagai seorang tamu tidaklah pantas jika ikut memikirkan apa yang akan di berikan oleh tuan rumah kepada kita sebagai jamuan, karena seandainya kita ikut memikirkan pun belum tentu sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh tuan rumah, maka apa yang terjadi pada diri kita pastilah sesuai dengan kehendak Allah, bukan sesuai dengan kehendak kita.

7.      Kesimpulan dari nomer 1 - 6 di atas, maka kita tahu bahwa kita bukanlah yang menjadikan diri kita sendiri, maupun yang menjadikan alam ini. akan tetapi alam ini beserta seluruh isinya (termasuk kita) adalah dijadikan oleh Allah. maka yakinlah bahwa segala sesuatu yang terjadi pada kita adalah anugrah Allah yang terbaik untuk kita.

8.      Maka apakah masih pantas jika kita meminta sesuatu kepada selain Allah??? Apakah pantas jika kita tidak melakukan apa yang diperintahkan oleh Allah??? 

9.      Maka kita tahu bahwa kita adalah hamba Allah, maka sepantasnya bagi seorang hamba adalah untuk mengabdi kepada Tuannya, adapun masalah pemberian dari tuannya adalah urusan tuannya sendiri, bukan urusan hambanya, kewajiban seorang hamba hanyalah menjalankan apa yang diperintahkan oleh tuannya.

10.  Apakah kita tahu bahwa yang kita pikirkan akan bermanfaat bagi kita atau tidak??? maka sudah sepantasnya kita pasrahkan kepada yang Maha Tahu terhadap apa yang akan terjadi kepada kita.

 

Fikirkanlah dan Renungkanlah !!!

 


Logo

Logo