Sunday 30 December 2018

ANTARA USAHA DAN TAWAKAL

Para Ulama berbeda pendapat tentang mana yang lebih utama antara kasab (melakukan usaha) dan tawakal dengan meninggalkan usaha.

-          Menurut sebagian ulama lebih utama kasab (berusaha), yaitu dengan bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup, seperti berdagang, bertani, menjadi tukang jahit, atau tukang kayu, dan lain sebagainya. Sebab dengan bekerja seseorang tidak akan tamak terhadap apa yang dimiliki orang lain, tidak mengharapkan pemberian orang lain, dan bisa memiliki keleluasaan berbuat baik kepada orang lain dengan bersedekah dan menyambung tali silaturahim.

-          Sedangkan ulama yang lain ada yang berpendapat bahwa tawakal itu lebih baik daripada melakukan usaha, hanya berserah diri kepada Allah dan memutuskan pandangannya dari segala macam usaha. Sebab dengan bertawakal seseorang bisa meninggalkan dunia, tidak mencintai dunia, tidak berkumpul dengan ahli dunia, serta bisa selamat dari fitnah dunia. Karena “Ad-dunya Halaluhaa Hisaabun, Wa-Haromuhaa ‘iqoobun” artinya dunia itu perkara halalnya akan dihisab dan perkara haromnya akan disiksa. Diriwayatkan dalam sebuah hadits : “Barangsiapa mencukupkan dirinya kepada Allah maka Allah mencukupkan segala keperluannya dan memberikan rezeki yang tidak disangka-sangka. Barangsiapa memantapkan dirinya kepada dunia, maka Allah menyerahkan urusan orang tersebut pada dunia”.

-          Adapun pendapat yang unggul adalah memerinci pendapat-pendapat ulama tersebut. Hasil perinciannya adalah hokum usaha dan tawakal berbeda-beda sesuai dengan kondisi masing-masing.

a.       Seseorang yang mampu bersabar menghadapi kesulitan kebutuhan hidup dan tidak tamak kepada manusia, tidak meminta-minta, dan tidak membenci takdir Allah atas kefakirannya, maka dia lebih utama bertawakal. Karena hal tersebut bisa menjadi sebab berhasilnya memerangi hawa nafsu.

b.      Seseorang yang belum bisa bersabar, maka lebih utama melakukan kasab (usaha), jangan sampai ia membenci takdir Allah atas kefakiran yang menimpa dirinya. Bahkan terkadang juga diwajibkan baginya untuk berusaha.

 

Perincian ini hanya berlaku pada pendapat yang menyatakan bahwa tawakal merusak usaha, “Barangsiapa berusaha, berarti dia tidak bertawakal”. Mayoritas ulama menyatakan bahwa tawakal bukan berarti meniadakan usaha. Terkadang seseorang berusaha disertai tawakal, dan tawakalnya tidak rusak karena dia melakukan usaha, sebab makna tawakal adalah percaya dan berpegang teguh kepada Allah walaupun disertai melakukan sebuah usaha.

 

Kesimpulannya, di zaman yang seperti ini melakukan usaha lebih utama, sebab keimanan dan keislaman orng awam tidak akan sempurna kecuali jika memiliki harta.

-          Sayyidina Anas r.a. meriwayatkan, Rasulullah bersabda : “Sebaik-baik penolong takwa kepada Allah adalah harta”.

-          Rasulullah bersabda : “Sesungguhnya kefakiran bagi sahabatku adalah sebuah kebahagiaan, sedangkan kekayaan bagi orang mukmin di akhir zaman adalah kebahagiaan (HR. Jabir).

-          Rasulullah juga bersabda : “Kemuliaan seorang mukmin adalah ketika dia tidak butuh bantuan manusia”.

-          Rasulullah bersabda : “Aku memerintahkan semua umatku agar tidak berpegangan atau menggantungkan harapan pada takdir”. Seorang sahabat bertanya : “Kenapa kami tidak diperbolehkan berpegangan pada takdir dengan meninggalkan beramal?”. Rasulullah menjawab : “Jangan !!! beramallah, karena setiap orang akan dimudahkan pada takdirnya masing-masing”. (HR. Bukhari). Jika seseorang ditakdirkan celaka, ia akan mudah melakukan kemaksiatan. Jika ditakdirkan bahagia, ia akan mudah melakukan ketaatan. Jika ditakdirkan kaya, pekerjaannya akan berjalan lancar. Jika ditakdirkan miskin, pekerjaannya akan sulit.

-          Diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud r.a. Rasulullah saw bersabda : “Berusaha mencari rezeki yang halal (untuk menafkahi anak istrinya) adalah suatu kewajiban setelah kewajiban melakukan shalat fardhu 5 waktu”. Adapula yang berpendapat merupakan kewajiban setelah rukun Islam, atau kewajiban setelah iman dan shalat. Karena beribadah adalah suatu kewajiban yang tidak bisa sempurna apabila belum bisa mencukupi nafkah anak dan istrinya, maka berusaha mencari nafkah menjadi wajib hukumnya. Hal ini sesuai dengan kaidah : Maa layatimmul waajibu illa bihi fahuwa waajibun (sesuatu yang mana suatu kewajiban tidak akan sempurna tanpanya, maka sesuatu tersebut hukumnya wajib).

-          Rasululah bersabda : “Mencari rezeki yang halal wajib hukumnya bagi setiap orang muslim laki-laki”. Hadits ini menunjukkan bahwa bekerja mencari nafkah hukumnya adalah wajib agar tidak menjadi pengemis, karena mengemis hukumnya adalah haram.

 

Kewajiban bekerja jangan sampai dilakukan dengan cara merendahkan diri dihadapan musuh Allah, melakukan kedzaliman, atau menjadi pelayan pemimpin yang dzalim. Carilah rezeki yang halal sesuai dengan yang disyariatkan oleh agama.

 

Imam Ghazali berkata : “Membawa bekal dalam perjalanan agar bisa menolong orang muslim adalah lebih utama, hal yang diperhitungkan adalah niatnya. Masuk hutan tanpa membawa bekal apapun dengan alasan tawakal kepada Allah hukumnya adalah bid’ah. Tidak ada orang terdahulu yang melakukannya karena membahayakan keselamatan jiwa. Allah berfirman dalam surat Al-Baqarah ayat 195 yang artinya : “Jangan meletakkan hidupmu dalam kehancuran”.

 


No comments:

Post a Comment

Logo

Logo