Tuesday 25 December 2018

Sifat Qidam

Allah Wajib Qidam artinya Allah wajib dahulu tanpa ada awalannya mustahil Allah baru. Qidam adalah sifat salbiyyah, maksudnya tidak ada makna yang maujud padanya, seperti sifat ilmu umpamanya. Qidam hanya merupakan ibaroh (ungkapan) dari tiadanya ‘adam sabiq (ketiadaan yang mendahului) atas wujud. Bisa juga dikatakan bahwa qidam merupakan ibaroh (ungkapan) dari ‘adamul awwaliyyah (tiadanya permulaan) bagi wujud. Dan Bisa juga dikatakan bahwa qidam merupakan ibaroh (ungkapan) dari ‘adamu iftitah (tiadanya pembuka) bagi wujud. Ketiga ungkapan tersebut maknanya adalah sama.

 

Allah wajib bersifat qidam (dahulu) dan mustahil bagi Allah memiliki lawan sifat qidam yaitu huduts (baru). Allah wajib bersifat qidam artinya adanya Allah itu tiada permulaannya yaitu adanya Allah tidak didahului oleh ketiadaaan.

 

Bukti bahwa Allah wajib bersifat qidam adalah seandainya Allah tidak qidam maka pasti Allah itu baru, apabila Allah baru maka pasti butuh kepada yang membarukan (menciptakan), karena perkara baru mustahil bisa membarukan dirinya sendiri.

 

Apakah benar bahwa perkara baru itu tidak bisa membarukan dirinya sendiri? Karena jika perkara baru bisa baru dengan sendirinya maka bisa saja kalau Allah itu tidak wajib bersifat qidam. Seandainya perkara baru bisa membarukan dirinya sendiri maka akan terjadi ijtimaun naqidlain (kumpulnya dua perkara yang bertentangan) padahal ijtimaun naqidlain itu mustahil yaitu mustahil kumpulnya wujud (ada) dan ‘adam (tiada) secara bersamaan. Maka jelaslah bahwa sesuatu yang baru pasti butuh kepada yang membarukan karena mustahilnya ijtimaun naqidlain sebagaimana yang sudah dijelaskan dalam sifat wujud.

 

Seandainya Allah itu baru apakah bisa membarukan sesuatu yang lain? Seandainya perkara yang baru bisa membarukan yang lainnya maka pasti lazim terjadinya daur atau tasalsul. Daur adalah bergantungnya sesuatu kepada sesuatu yang lain yang mana sesuatu yang lain tersebut juga tergantung kepadanya. Misalnya adanya umar tergantung kepada adanya zaid, akan tetapi adanya zaid pun juga tergantung kepada adanya umar, maka zaid menjadikan umar dan umar yang menjadikan zaid. Ini adalah mustahil. Maka daur itu bisa terjadi dengan hanya satu wasithoh (perantara) kalau muhditsnya (yang menjadikan) hanya dua seperti contoh tersebut yaitu muhditsnya zaid dan umar, dan juga bisa lebih dari satu wasithoh (perantara) dengan sebab muhditsnya (yang menjadikan) lebih dari dua, misalnya zaid menjadikan umar, umar menjadikan bakar, dan bakar menjadikan zaid, maka disini yang menjadi muhdits ada 3 yaitu zaid, umar dan bakar. Maka jika Allah itu baru maka pasti terjadi daur yaitu adanya Allah bergantung kepada adanya yang dijadikan oleh Allah, maka daur itu mustahil.

 

Sedangkan tasalsul adalah berturut-turutnya segala sesuatu secara satu persatu kepada apa-apa yang tidak ada penghabisannya, dan tasalsul ini adalah mustahil, misalnya : seandainya Allah itu baru maka pasti butuh kepada muhdits, dan muhditsnya (yang membarukan Allah) pasti butuh pula kepada muhdits (yang membarukan) yang lain, dan begitu seterusnya.

 

Maka dari penjelasan tersebut dapat kita pahami bahwa sesuatu yang baru mustahil bisa membarukan dirinya sendiri dan mustahil pula bisa membarukan yang lainnya, karena jika perkara baru itu bisa membarukan dirinya sendiri maka akan terjadi ijtimaun naqidlain, sedangkan jika perkara baru bisa membarukan yang lainnya maka akan terjadi daur dan tasalsul, baik ijtimaun naqidlain, daur, maupun tasalsul, ketiganya adalah perkara mustahil dalam arti tidak diterima oleh akal terhadap tetapnya perkara-perkara tersebut. Dan sesuatu yang menghantarkan kepada ijtimaun naqidlain, daur, maupun tasalsul adalah mustahil karena ketiganya mewajibkan terhadap tidak wajib qidamnya Allah Ta’ala, maka barunya Allah Ta’ala adalah mustahil, karena setiap sesuatu yang menghantarkan kepada sesuatu yang mustahil pada Allah adalah mustahil. Fata-ammal.

 

No comments:

Post a Comment

Logo

Logo