Sunday 30 December 2018

MAKNA REZEKI

Rezeki menurut Ahlussunnah Wal Jama’ah adalah sesuatu yang sudah diambil manfaatnya dengan perbuatan. Missal jika berupa makanan berarti sudah dimakan, jika berupa pakaian berarti sudah dipakai. Maka jika ada seseorang yang memiliki padi tetapi belum dimanfaatkan maka padi tersebut belum bisa disebut rezeki bagi pemiliknya, hal itu baru berupa sesuatu yang ia miliki saja belum disebut sebagai rezekinya.

 

Adapun kaum Muktazilah mengatakan bahwa rezeki bukanlah sesuatu yang sudah dimanfaatkan, tetapi rezeki menurut mereka adalah sesuatu yang sudah dimiliki. Dengan demikian, orang yang memiliki padi sudah disebut orang yang diberi rezeki. Pendapat ini tidak boleh diikuti, dan juga tidak boleh diyakini, karena Allah adalah pemilik tujuh langit dan bumi, sehingga sesuatu yang dimiliki tidak boleh disebut sebagai rezeki.

 

Pendapat kaum Muktazilah ini menetapkan bahwa seseorang mungkin saja memakan rezeki orang lain. Padahal seharusnya tidak seperti itu, seseorang tidak akan memakan rezeki orang lain sebagaimana seorang tamu tidaklah memakan rezekinya tuan rumah, akan tetapi tamu tersebut memakan rezekinya tamu itu sendiri meskipun yang ia makan adalah pemberian dari yang dimiliki tuan rumah tersebut. Maka ketika ada seseorang yang mendapatkan duit, kemudian dia berkata : "Alhamdulillah dapat rezeki", berarti dia ikut Madzhabnya Muktazilah. Na'udzubillahi Min Dzalika

ANTARA USAHA DAN TAWAKAL

Para Ulama berbeda pendapat tentang mana yang lebih utama antara kasab (melakukan usaha) dan tawakal dengan meninggalkan usaha.

-          Menurut sebagian ulama lebih utama kasab (berusaha), yaitu dengan bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup, seperti berdagang, bertani, menjadi tukang jahit, atau tukang kayu, dan lain sebagainya. Sebab dengan bekerja seseorang tidak akan tamak terhadap apa yang dimiliki orang lain, tidak mengharapkan pemberian orang lain, dan bisa memiliki keleluasaan berbuat baik kepada orang lain dengan bersedekah dan menyambung tali silaturahim.

-          Sedangkan ulama yang lain ada yang berpendapat bahwa tawakal itu lebih baik daripada melakukan usaha, hanya berserah diri kepada Allah dan memutuskan pandangannya dari segala macam usaha. Sebab dengan bertawakal seseorang bisa meninggalkan dunia, tidak mencintai dunia, tidak berkumpul dengan ahli dunia, serta bisa selamat dari fitnah dunia. Karena “Ad-dunya Halaluhaa Hisaabun, Wa-Haromuhaa ‘iqoobun” artinya dunia itu perkara halalnya akan dihisab dan perkara haromnya akan disiksa. Diriwayatkan dalam sebuah hadits : “Barangsiapa mencukupkan dirinya kepada Allah maka Allah mencukupkan segala keperluannya dan memberikan rezeki yang tidak disangka-sangka. Barangsiapa memantapkan dirinya kepada dunia, maka Allah menyerahkan urusan orang tersebut pada dunia”.

-          Adapun pendapat yang unggul adalah memerinci pendapat-pendapat ulama tersebut. Hasil perinciannya adalah hokum usaha dan tawakal berbeda-beda sesuai dengan kondisi masing-masing.

a.       Seseorang yang mampu bersabar menghadapi kesulitan kebutuhan hidup dan tidak tamak kepada manusia, tidak meminta-minta, dan tidak membenci takdir Allah atas kefakirannya, maka dia lebih utama bertawakal. Karena hal tersebut bisa menjadi sebab berhasilnya memerangi hawa nafsu.

b.      Seseorang yang belum bisa bersabar, maka lebih utama melakukan kasab (usaha), jangan sampai ia membenci takdir Allah atas kefakiran yang menimpa dirinya. Bahkan terkadang juga diwajibkan baginya untuk berusaha.

 

Perincian ini hanya berlaku pada pendapat yang menyatakan bahwa tawakal merusak usaha, “Barangsiapa berusaha, berarti dia tidak bertawakal”. Mayoritas ulama menyatakan bahwa tawakal bukan berarti meniadakan usaha. Terkadang seseorang berusaha disertai tawakal, dan tawakalnya tidak rusak karena dia melakukan usaha, sebab makna tawakal adalah percaya dan berpegang teguh kepada Allah walaupun disertai melakukan sebuah usaha.

 

Kesimpulannya, di zaman yang seperti ini melakukan usaha lebih utama, sebab keimanan dan keislaman orng awam tidak akan sempurna kecuali jika memiliki harta.

-          Sayyidina Anas r.a. meriwayatkan, Rasulullah bersabda : “Sebaik-baik penolong takwa kepada Allah adalah harta”.

-          Rasulullah bersabda : “Sesungguhnya kefakiran bagi sahabatku adalah sebuah kebahagiaan, sedangkan kekayaan bagi orang mukmin di akhir zaman adalah kebahagiaan (HR. Jabir).

-          Rasulullah juga bersabda : “Kemuliaan seorang mukmin adalah ketika dia tidak butuh bantuan manusia”.

-          Rasulullah bersabda : “Aku memerintahkan semua umatku agar tidak berpegangan atau menggantungkan harapan pada takdir”. Seorang sahabat bertanya : “Kenapa kami tidak diperbolehkan berpegangan pada takdir dengan meninggalkan beramal?”. Rasulullah menjawab : “Jangan !!! beramallah, karena setiap orang akan dimudahkan pada takdirnya masing-masing”. (HR. Bukhari). Jika seseorang ditakdirkan celaka, ia akan mudah melakukan kemaksiatan. Jika ditakdirkan bahagia, ia akan mudah melakukan ketaatan. Jika ditakdirkan kaya, pekerjaannya akan berjalan lancar. Jika ditakdirkan miskin, pekerjaannya akan sulit.

-          Diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud r.a. Rasulullah saw bersabda : “Berusaha mencari rezeki yang halal (untuk menafkahi anak istrinya) adalah suatu kewajiban setelah kewajiban melakukan shalat fardhu 5 waktu”. Adapula yang berpendapat merupakan kewajiban setelah rukun Islam, atau kewajiban setelah iman dan shalat. Karena beribadah adalah suatu kewajiban yang tidak bisa sempurna apabila belum bisa mencukupi nafkah anak dan istrinya, maka berusaha mencari nafkah menjadi wajib hukumnya. Hal ini sesuai dengan kaidah : Maa layatimmul waajibu illa bihi fahuwa waajibun (sesuatu yang mana suatu kewajiban tidak akan sempurna tanpanya, maka sesuatu tersebut hukumnya wajib).

-          Rasululah bersabda : “Mencari rezeki yang halal wajib hukumnya bagi setiap orang muslim laki-laki”. Hadits ini menunjukkan bahwa bekerja mencari nafkah hukumnya adalah wajib agar tidak menjadi pengemis, karena mengemis hukumnya adalah haram.

 

Kewajiban bekerja jangan sampai dilakukan dengan cara merendahkan diri dihadapan musuh Allah, melakukan kedzaliman, atau menjadi pelayan pemimpin yang dzalim. Carilah rezeki yang halal sesuai dengan yang disyariatkan oleh agama.

 

Imam Ghazali berkata : “Membawa bekal dalam perjalanan agar bisa menolong orang muslim adalah lebih utama, hal yang diperhitungkan adalah niatnya. Masuk hutan tanpa membawa bekal apapun dengan alasan tawakal kepada Allah hukumnya adalah bid’ah. Tidak ada orang terdahulu yang melakukannya karena membahayakan keselamatan jiwa. Allah berfirman dalam surat Al-Baqarah ayat 195 yang artinya : “Jangan meletakkan hidupmu dalam kehancuran”.

 


Thursday 27 December 2018

Apakah Kita ???

1.      Apakah adanya kita pernah meminta kepada Allah untuk diadakan? 

2.      Apakah setelah kita ada, kita akan tahu apa yang akan terjadi pada kita nantinya?? 

3.      Apakah semua yang terjadi pada diri kita sesuai dengan apa yang kita inginkan??? 

4.      Apakah kita percaya dengan Dzat yang mengatur kejadian alam ini untuk mengatur apa yang terjadi pada diri kita??? kalau percaya kenapa kita masih ikut campur untuk mengatur diri kita sendiri?? padahal yang kita pikirkan tentang hari esok pun belum tentu kitanya sampai kepada hari esok, barangkali mati terlebih dahulu sebelum datangnya hari esok.

5.      Apakah kita bisa mengadakan diri kita sendiri??? kalau tidak bisa berarti bukan hak kita untuk mengatur diri kita sendiri, karena diri kita bukanlah milik kita, tapi milik yang menjadikan kita yaitu Allah.

6.      Apakah dunia ini yang menjadikan kita??? kalau dunia ini bukan kita yang menjadikan berarti dunia ini bukanlah milik kita, jika dunia ini diibaratkan sebagai rumah maka dunia ini bukanlah rumah kita karena bukan kita yang membuatnya, kita hanya bertamu, maka sebagai seorang tamu tidaklah pantas jika ikut memikirkan apa yang akan di berikan oleh tuan rumah kepada kita sebagai jamuan, karena seandainya kita ikut memikirkan pun belum tentu sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh tuan rumah, maka apa yang terjadi pada diri kita pastilah sesuai dengan kehendak Allah, bukan sesuai dengan kehendak kita.

7.      Kesimpulan dari nomer 1 - 6 di atas, maka kita tahu bahwa kita bukanlah yang menjadikan diri kita sendiri, maupun yang menjadikan alam ini. akan tetapi alam ini beserta seluruh isinya (termasuk kita) adalah dijadikan oleh Allah. maka yakinlah bahwa segala sesuatu yang terjadi pada kita adalah anugrah Allah yang terbaik untuk kita.

8.      Maka apakah masih pantas jika kita meminta sesuatu kepada selain Allah??? Apakah pantas jika kita tidak melakukan apa yang diperintahkan oleh Allah??? 

9.      Maka kita tahu bahwa kita adalah hamba Allah, maka sepantasnya bagi seorang hamba adalah untuk mengabdi kepada Tuannya, adapun masalah pemberian dari tuannya adalah urusan tuannya sendiri, bukan urusan hambanya, kewajiban seorang hamba hanyalah menjalankan apa yang diperintahkan oleh tuannya.

10.  Apakah kita tahu bahwa yang kita pikirkan akan bermanfaat bagi kita atau tidak??? maka sudah sepantasnya kita pasrahkan kepada yang Maha Tahu terhadap apa yang akan terjadi kepada kita.

 

Fikirkanlah dan Renungkanlah !!!

 


Tuesday 25 December 2018

Lemahnya Diri Kita

Wajib bagi setiap mukallaf untuk nadzor, merenungkan dan berfikir tentang keadaan diri kita, mendengar, melihat, berbicara, tinggi, rendah, dan berubah-ubahnya sifat yang ada pada diri kita, terjaga, tidur, sakit, sehat, mendengar kemudian tidak mendengar, melihat kemudian tidak melihat, itu semua tak mampu kita ciptakan sendiri, ayah dan ibu kita juga bukanlah yang menciptakan diri kita.

 

Kalau manusia mampu menciptakan sifat mendengar pada dirinya sendiri maka pasti tidak akan ada manusia yang tuli karena tak ada manusia yang ingin dirinya tuli. Kalau manusia mampu menciptakan sifat melihat pada dirinya sendiri maka pasti tidak akan ada manusia yang buta karena tak ada manusia yang ingin dirinya buta. Dari sini menjadi nyata bahwa diri kita adalah Dzat yang tidak punya kemampuan secara pasti, karena kita adalah Dzat yang baru.

 

Maka segala sesuatu yang terkena sifat baru pasti juga sesuatu yang baru, setiap sesuatu yang baru pasti ada yang membarukan (menciptakan), pencipta tersebut adalah Dzat yang bijaksana yang Wajib Wujudnya, pencipta itu adalah Allah Azza Wa Jalla.

 


Sifat Qidam

Allah Wajib Qidam artinya Allah wajib dahulu tanpa ada awalannya mustahil Allah baru. Qidam adalah sifat salbiyyah, maksudnya tidak ada makna yang maujud padanya, seperti sifat ilmu umpamanya. Qidam hanya merupakan ibaroh (ungkapan) dari tiadanya ‘adam sabiq (ketiadaan yang mendahului) atas wujud. Bisa juga dikatakan bahwa qidam merupakan ibaroh (ungkapan) dari ‘adamul awwaliyyah (tiadanya permulaan) bagi wujud. Dan Bisa juga dikatakan bahwa qidam merupakan ibaroh (ungkapan) dari ‘adamu iftitah (tiadanya pembuka) bagi wujud. Ketiga ungkapan tersebut maknanya adalah sama.

 

Allah wajib bersifat qidam (dahulu) dan mustahil bagi Allah memiliki lawan sifat qidam yaitu huduts (baru). Allah wajib bersifat qidam artinya adanya Allah itu tiada permulaannya yaitu adanya Allah tidak didahului oleh ketiadaaan.

 

Bukti bahwa Allah wajib bersifat qidam adalah seandainya Allah tidak qidam maka pasti Allah itu baru, apabila Allah baru maka pasti butuh kepada yang membarukan (menciptakan), karena perkara baru mustahil bisa membarukan dirinya sendiri.

 

Apakah benar bahwa perkara baru itu tidak bisa membarukan dirinya sendiri? Karena jika perkara baru bisa baru dengan sendirinya maka bisa saja kalau Allah itu tidak wajib bersifat qidam. Seandainya perkara baru bisa membarukan dirinya sendiri maka akan terjadi ijtimaun naqidlain (kumpulnya dua perkara yang bertentangan) padahal ijtimaun naqidlain itu mustahil yaitu mustahil kumpulnya wujud (ada) dan ‘adam (tiada) secara bersamaan. Maka jelaslah bahwa sesuatu yang baru pasti butuh kepada yang membarukan karena mustahilnya ijtimaun naqidlain sebagaimana yang sudah dijelaskan dalam sifat wujud.

 

Seandainya Allah itu baru apakah bisa membarukan sesuatu yang lain? Seandainya perkara yang baru bisa membarukan yang lainnya maka pasti lazim terjadinya daur atau tasalsul. Daur adalah bergantungnya sesuatu kepada sesuatu yang lain yang mana sesuatu yang lain tersebut juga tergantung kepadanya. Misalnya adanya umar tergantung kepada adanya zaid, akan tetapi adanya zaid pun juga tergantung kepada adanya umar, maka zaid menjadikan umar dan umar yang menjadikan zaid. Ini adalah mustahil. Maka daur itu bisa terjadi dengan hanya satu wasithoh (perantara) kalau muhditsnya (yang menjadikan) hanya dua seperti contoh tersebut yaitu muhditsnya zaid dan umar, dan juga bisa lebih dari satu wasithoh (perantara) dengan sebab muhditsnya (yang menjadikan) lebih dari dua, misalnya zaid menjadikan umar, umar menjadikan bakar, dan bakar menjadikan zaid, maka disini yang menjadi muhdits ada 3 yaitu zaid, umar dan bakar. Maka jika Allah itu baru maka pasti terjadi daur yaitu adanya Allah bergantung kepada adanya yang dijadikan oleh Allah, maka daur itu mustahil.

 

Sedangkan tasalsul adalah berturut-turutnya segala sesuatu secara satu persatu kepada apa-apa yang tidak ada penghabisannya, dan tasalsul ini adalah mustahil, misalnya : seandainya Allah itu baru maka pasti butuh kepada muhdits, dan muhditsnya (yang membarukan Allah) pasti butuh pula kepada muhdits (yang membarukan) yang lain, dan begitu seterusnya.

 

Maka dari penjelasan tersebut dapat kita pahami bahwa sesuatu yang baru mustahil bisa membarukan dirinya sendiri dan mustahil pula bisa membarukan yang lainnya, karena jika perkara baru itu bisa membarukan dirinya sendiri maka akan terjadi ijtimaun naqidlain, sedangkan jika perkara baru bisa membarukan yang lainnya maka akan terjadi daur dan tasalsul, baik ijtimaun naqidlain, daur, maupun tasalsul, ketiganya adalah perkara mustahil dalam arti tidak diterima oleh akal terhadap tetapnya perkara-perkara tersebut. Dan sesuatu yang menghantarkan kepada ijtimaun naqidlain, daur, maupun tasalsul adalah mustahil karena ketiganya mewajibkan terhadap tidak wajib qidamnya Allah Ta’ala, maka barunya Allah Ta’ala adalah mustahil, karena setiap sesuatu yang menghantarkan kepada sesuatu yang mustahil pada Allah adalah mustahil. Fata-ammal.

 

Sifat Wujud

Allah wajib Wujud artinya Allah wajib ada, mustahil Allah tidak ada. dan makna wujud ini diperselisihkan oleh para ulama tauhid, sebagian ulama berpendapat bahwa wujud itu adalah sifat yang tidak tampak secara nyata, jadi dia adalah hal artinya bahwa wujud itu adalah wasithoh bainal wujud wal ‘adam (batas antara ada dan tiada). Sebagian mereka lagi diantaranya Imam Abu Hasan Ali Al-Asy’ari berpendapat bahwa wujud adalah ‘ainul maujud (Dzat itu sendiri), dengan arti bahwa wujud itu tidak ada tambahan pada Dzat yang wujud dan dapat dibuktikan secara nyata seperti Dzat apabila hijab kita dibuka oleh Allah, maka kita akan melihat wujud itu sebagaimana sifat-sifat ma’ani.

 

Dalam menghitung wujud sebagai sifat berdasarkan Madzhab Syaikh Abu Hasan Al-Asy’ari merupakan tasamuh (majaz), karena wujud merupakan ‘Ainud Dzat (Dzat Allah itu sendiri), bukan selainnya, dan Dzat Allah bukanlah suatu sifat. Namun ketika dalam pelafalan wujud dijadikan sifat bagi Dzat Allah, dan dikatakan “Dzat Allah Jalla Wa ‘Azza itu maujud” maka secara umum wujud sah dihitung sebagai suatu sifat. Adapun menurut madzhab ulama yang menjadikan wujud sebagai sesuatu yang bukan Dzat Allah, sebagaimana Imam Ar-Razi, maka menghitungnya sebagai bagian dari sifat-sifat Allah adalah benar dan tidak ada tasamuh di dalamnya.

 

Bukti wujudnya Allah Ta’ala adalah hudutsnya alam (barunya alam), karena seandainya alam tidak ada yang menciptakan, namun ada dengan sendirinya, maka pasti lazim adanya salah satu dari dua perkara yang sama, yang menyamai selainnya, dan yang mengunggulinya tanpa sebab, dan hal itu muhal.

 

Dan bukti barunya alam adalah bahwa alam selalu menetapi a’rodl (sifat-sifat baru) seperti bergerak, diam, dan selainnya. Padahal sesuatu yang selalu menetapi sifat baru adalah baru. Maka a’rodl menjadi dalil bahwa alam ini diciptakan (a’rodl menjadi dalil dan barunya alam menjadi madlulnya).

 

Adapun bukti barunya a’rodl adalah perubahannya yang terlihat oleh mata dari tiada menjadi ada, dan dari ada menjadi tiada, maka berubah-ubah (taghoyyur) menjadi dalil barunya a’rodl (taghoyyur menjadi dalil dan a’rodl menjadi madlulnya).

 

Tidak samar lagi bahwa alam yaitu langit, bumi, segala sesuatu yang ada di dalam keduanya, dan segala sesuatu yang ada diantara keduanya, merupakan jirim yang selalu menetapi sifat baru yang ada padanya, yaitu bergerak, diam, dan selainnya.

 

Untuk mengetahui barunya sesuatu kita cukup dengan batasan pada gerak dan diam saja, karena mengetahui kepastian jirim pada keduanya merupakan kebenaran yang pasti diakui oleh semua orang berakal. Tidak diragukan lagi wajibnya sifat huduts (baru) bagi masing-masing dari bergerak dan diam. Karena seandainya salah satunya qodim, maka pasti sama sekali ia tidak dapat menerima ketiadaan selamanya, karena sesuatu yang telah tetap qidamnya maka mustahil ‘adamnya (tiadanya). Tidak samar lagi bahwa masing-masing dari gerak dan diam pasti bisa ‘adam (tiada), karena telah disaksikan ‘adamnya (tiadanya) salah satu dari keduanya dengan wujudnya (adanya) lawannya dalam berbagai jirim, maksudnya jika jirim itu wujud (ada) geraknya maka ‘adam (tiada) diamnya, begitu pula jika wujud diamnya maka ‘adam geraknya. Sehingga hal itu memastikan kesamaan berbagai jirim dalam hal wujudnya salah satu dari gerak dan diam pada suatu jirim. Dengan demikian maka tetaplah kehudutsan keduanya (gerak dan diam) dan mustahil wujud keduanya pada azali secara pasti, karena mustahil terlepasnya jirim dari keduanya (mustahil jirim tiada gerak dan tiada diam secara bersamaan).

 

Adapun barunya salah satu dari dua perkara yang saling melazimi, maka pasti menetapkan barunya sesuatu yang lain. Maka ini menjadi dalil bahwa jirim itu baru, jirim merupakan sesuatu yang baru karena melazimi sesuatu yang baru yaitu arodl.

 

Maka dengan penjelasan-penjelasan di atas telah jelas bahwa alam itu baru, dan pastilah alam butuh kepada Dzat yang menciptakannya. Karena seandainya sesuatu yang baru itu ada tanpa ada yang menciptakan, maka akan terjadi suatu keunggulan tanpa ada yang mengunggulkan. Karena alam ini sebelum wujudnya adalah sesuatu yang mumkin artinya wujud dan ‘adamnya derajatnya sama, jadi sebelum alam ini wujud maka boleh saja jika alam ini wujud dan boleh pula jika alam ini ‘adam. Ketika alam ini wujud, sedangkan ‘adamnya hilang, maka kita mengerti bahwa wujudnya alam mengalahkan ‘adamnya, padahal sebelum wujudnya, alam ini wujudnya punya derajat yang sama dengan ‘adamnya, dan tidak dapat dibenarkan jika wujudnya alam ini mengalahkan ‘adamnya dengan sendirinya, karena kedua perkara tersebut derajatnya adalah sama, jika demikian maka jelaslah bahwa wujudnya alam ini ada yang menciptakan. Bagi orang yang berakal pasti tidak akan membenarkan bahwa salah satu dari dua piringan neraca (timbangan) yang keduanya itu sama berat dan seimbang, misalnya yang kiri turun ke bawah sampai ke tanah karena suatu sebab, tiba-tiba piringan yang kanan mengungguli yang kiri dan piringan yang kiri itu naik setinggi mungkin tanpa adanya sebab yang mendorongnya, barangsiapa yang membenarkan hal tersebut maka orang itu adalah orang yang sangat dungu dan gila. Karena unggul tanpa ada yang mengunggulkan adalah perkara yang mustahil.

 

Dan seandainya alam tidak ada penciptanya, namun tercipta dengan sendirinya maka pastilah akan menjadi terkumpulnya dua perkara yang saling menafikan (ijtimaun naqidlain), akan terjadi adanya dua perkara yang derajatnya sama, menjadi unggul tanpa ada yang mengunggulkan, karena pada hakikatnya wujudnya alam ini mumkin (yaitu wujudnya alam derajatnya sama dengan ketiadaannya), seandainya salah satunya ada tanpa pencipta, maka pasti salah satunya tersebut telah mengungguli yang lainnya padahal ia derajatnya sama dengan yang lainnya, sebab penerimaan setiap jirim pada keduanya (wujud, ‘adam) adalah sama yaitu boleh saja jirim itu wujud dan boleh saja jirim itu ‘adam.

 

Maka sungguh menjadi lazim bahwa seandainya ada sesuatu dari alam yang wujud dengan sendirinya tanpa pencipta, maka pasti lazim terjadi berkumpulnya perkara yang sama dan unggul keduanya yang saling menafikan. Padahal yang seperti itu adalah muhal (muhal berkumpulnya wujud dan ‘adam pada satu jirim secara bersamaan).

 

Kesimpulan :

1.      Bukti adanya Allah

Bukti Allah itu ada yaitu barunya alam, alam ini adalah baru, dan sesuatu yang baru pasti ada yang membarukan.

2.      Bukti barunya alam

Bukti barunya alam yaitu bahwa alam selalu menetapi a’rodl yaitu sifat yang berubah-ubah, seperti gerak dan diam.

3.      Bukti barunya ‘arodl

Adapun bukti barunya a’rodl adalah perubahannya yang terlihat oleh mata dari tiada menjadi ada, dan dari ada menjadi tiada. Misalnya dari tiada gerak menjadi ada gerak, dari ada gerak menjadi tiada gerak.

4.      Bukti barunya jirim

Jirim merupakan sesuatu yang baru karena melazimi sesuatu yang baru yaitu arodl, karena barunya salah satu dari dua perkara yang saling melazimi, maka pasti menetapkan barunya sesuatu yang lain

 

Adapun pengertian bahwa yang menciptakan alam ini hanyalah Allah (kita bisa tahu bahwa yang menciptakan alam ini namanya Allah) tidaklah dapat diperoleh dengan menggunakan dalil aqli, tetapi dari khobarnya para rasul ‘alaihimus sholatu was-salam. Wallahu A’lam Bis-Showab

 

 


Pentingnya Paham Hukum 'Adat

Hakikat hukum ‘adat adalah tetapnya hubungan antara satu perkara dengan perkara lain dari arah wujud dan ketiadaannya melalui perantara yang berulang-ulang secara bersamaan diantara keduanya yang disaksikan dengan indra. Misalnya menghukumi bahwa api bisa membakar. Ini adalah hukum ‘adat, karena maknanya adalah pembakaran terjadi berbarengan dengan tersentuhnya api pada suatu benda, yang mana hal itu terjadi berulang kali disaksikan dengan indra (hissi).

 

Dan harus dipahami bahwa makna dari hukum ‘adat tersebut adalah api bukanlah yang berpengaruh (menciptakan) pada terbakarnya benda yang tersentuh olehnya, api bukan pula yang berpengaruh memanaskan benda yang tersentuh olehnya, karena makna yang demikian sama sekali tidak ditunjukkan oleh adat, maksimal yang ditunjukkan oleh adat hanyalah kebersamaan antara dua hal tersebut. Adapun penentu faktor yang membakar benda, maka adat sama sekali tidak terkait dengannya dan tidak bisa diketahui darinya.

 

Pengetahuan tentang faktor yang mempengaruhi yaitu yang memberikan bekas dari kebersamaannya dua perkara hanya dapat diketahui dari dalil ‘aqli dan naqli. Dan sungguh bahwasannya aqal dan syariat sepakat atas kesendirian Allah dalam menciptakan perkara yang maujud secara umum, karena tidak ada kemampuan untuk menciptakan bagi siapapun selain Allah Ta’ala.

 

Sungguh banyak dari golongan suatu kaum yang telah salah dalam memahami hukum adat, yaitu mereka menganggap hukum adat sebagai hukum ‘aqal, dan menyandarkan segala sesuatu yang wujud dalam permasalahan tersebut pada sebab yang biasanya wujud bersamaan dengannya, seperti menganggap wujudnya membakar yang bersamaan dengan wujudnya api maka mereka menganggap bahwa api lah yang menjadikannya membakar, adakalanya juga ada yang menyandarkan pada tabiatnya atau kekuatan yang diletakkan padanya, dengan menganggap secara tabiat bahwa api lah yang membakar atau dengan menganggap bahwa api diberi kekuatan sehingga api tersebut mempunyai kekuatan bisa membakar. Sehingga mereka meyakini aqidah yang rusak dan tercela, bid’ah yang keji dalam ushuluddin dan syirik yang besar. Na’udzubillah


Pentingnya Ilmu Tauhid

Nikmat Iman dan Islam adalah nikmat yang sangat dan paling besar yang Allah berikan kepada hamba-Nya. Keduanya adalah syarat untuk dapat memasuki syurga dengan kekal di dalamnya dan selamat dari siksa api neraka dengan berbuat tha’at kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Maka wajiblah atas tiap mukallaf (aqil, baligh, selamat inderanya dan telah sampai dakwah kepadanya) untuk mengetahui segala rukun Islam dan rukun iman serta bersyukur kepada Allah Ta’ala dengan mengamalkan amalan-amalan keduanya yang hanya dapat diterima Allah apabila kita memiliki ilmunya.

 

Rukun Islam yang pertama ialah mengucapkan dua kalimah syahadah. Ilmu tentang makna dua kalimah syahadah itulah yang disebut ushuluddin atau ilmu tauhid. Wajib bagi setiap mukallaf untuk mengenal Allah Jalla wa Azza dengan segala SifatNya yang wajib bagiNya dan yang mustahil padaNya, serta yang jaiz padaNya. Demikian pula yang wajib bagi Rasulalayhimush shalatu wa sallam dan yang mustahil, serta yang jaiz. Adapun ilmu tentang rukun Islam yang lain termasuk ilmu fiqih, yang wajib atas tiap mukallaf mengetahuinya untuk kesempurnaan ibadah. Rasulullah SAW bersabda (yang artinya), “Tiap orang ber’amal tanpa ilmu, makaamalnya itu ditolak, tidak diterima.” Beliau SAW juga bersabda, “Menuntut ilmu itu wajib atas tiap muslim.”

 

Dalam kitab زبد dikatakan, “Yang pertama kali wajib atas manusia ialah mengenal Allah dengan yaqin.” Dalam kitab Khuthbatul Habib Thahir bin Husain dikatakan, “Ketahuilah wahai saudaraku bahwa ushuluddin ialah mengenal Yang disembah sebelum menyembah, dan itulah hakikat ma’na kalimah syahadah.”

 

Jika telah diketahui kewajiban ma’rifatullah Ta’ala atas tiap mukallaf, maka diketahui olehmu bahwa ma’rifatullah adalah jazim (yang mantap, yang tiada ragu lagi) dan mufaqah (sesuai) pada haq dengan dalil. Adapun dalil adalah hal yang menunjukkan kebenaran suatu perkara. Sedangkan dalil wujudnya Allah Ta’ala dengan segala SifatNya cukup dengan dalil ijmaly (barunya langit, bumi, dan yang di antaranya).

 

Ilmu Tauhid adalah suatu ilmu yang dengan ilmu tersebut seseorang dapat menetapkan aqidah-aqidah agama yang diperoleh dari dalil-dalil yang meyakinkan. Ilmu tauhid merupakan ilmu yang paling penting daripada kepentingan-kepentingan yang lainnya karena hanya dengan aqidah tauhid tersebut yang bisa menjadi sebabnya seseorang selamat dari kekalnya siksa neraka, dan dengan ilmu tersebut kita dapat memahami makna yang terkandung di dalam dua kalimat syahadat yang pasti harus diketahui oleh orang mukallaf, dan dengannya pintu-pintu anugerah Allah dibuka dan dengannya pula kita dapat masuk ke dalam golongan orang-orang yang bertaqwa bersama para shadiqin, syuhada’, dan shalihin. Karena diantara nikmat Allah yang sangat agung adalah diberikannya kita taufiq yaitu kemudahan untuk melakukan ketaatan di zaman yang banyak kebodohan dan kerusakan serta sangat sulit untuk melakukan suatu kebaikan seperti zaman sekarang ini serta diberikan kepahaman ilmu tauhid dengan bukti-bukti yang qath’I (pasti).

 

Dengan mengokohkan pengetahuan tentang ilmu tauhid seorang hamba dapat selamat dari bahaya kelanggenggan siksa Allah serta terbentanglah kebaikan-kebaikan makna kalimat syahadat pada bathin dan dhohir seseorang yang memahaminya, dan segala sesuatu yang dilakukannya penuh dengan keagungan makna-makna yang indah diantara taman syurga. Bersyukurlah kepada Allah karena kita telah di berikan anugerah yang sangat agung yang banyak orang terpalingkan darinya, sehingga mereka mendapat musibah yang sangat besar dalam pokok-pokok aqidah mereka. Maka Insya Allah dengan pemahaman tauhid yang benar kita akan memperoleh keuntungan mati dalam keadaan iman yang sangat diharapkan dan keselamatan yang diidam-idamkan.

 

Seiring dengan merebaknya berbagai faham yang menyimpang di kalangan masyarakat kita, seperti faham tasybih yaitu suatu faham yang menyerupakan atau menyamakan Allah SWT dengan makhluk-Nya, takfir (pengkafiran) tanpa alasan yang jelas, penolakan dan pengingkaran terhadap empat madzhab dan lain-lain, maka pemahaman dan pengajaran aqidah Ahlussunnah Wal Jama'ah harus kembali ditekankan. Karena aqidah ini adalah aqidah mayoritas umat Islam, dari masa Rasulullah SAW hingga kini, yaitu aqidah golongan yang selamat (al Firqah an-Najiyah).

 

 

Logo

Logo